Translate

Kamis, April 24, 2008

MADURA CHANNEL DI TENGAH KOMPETISI BISNIS INFOTAINMENT

Oleh: Hidayat Raharja

Pertumbuhan dunia televisi sebagai media informasi dan sekaligus sebagai dunia hiburan merupakan salah satu media yang cukup marak di tanah air. Ada sekitar dua belas satsiun televisi yang berskala nasional di tanah air. Sebuah dunia hiburan yang bersifat informatif. Kedua belas stasiun televisi yang ada semakin marak dengan hadirnya ebebrapa televisi lokal dan komunitas dengan jangkuan siaran yang terbatas. Semua berupaya mencari karakter danberebut pemirsa yang ujung-ujungnya jika mendapatkan pemirsa yang banyak, akan banyak pula pemasukan iklan yang akan menunjang kepada keberlangsungan srtasiun televise bersangkutan.
Setiap televisi memantapkan diri sebagai stasiun yang berspesifikasi khusus untuk menjangkau segmen pemirsa secara spesifik atau secara heterogen. Tidak ada yang menduga bahwa stasiun televise yang berbasis kepada pemberitaan akan diminati pengiklan dan penonton. Tidak ada yang percaya stasiun yang berspefikasi kepada siaran budaya tradisi akan memilki penonton dan pengiklan. Tidak ada yang percaya bahwa stasiun televisi yang berbasis kepada pendidikan akan memiliki penonton dan pengiklan pula. Bahkan beberapa stasiun televisi melakukan merger untuk memantapkan eksistensinya dan meringankan beban biaya produksi untuk tteap bisa meraih keuntungan di antara kompetisi bisnis pertelevisian yang kian ketat.
Televisi lokal sebagai ruang alternatif untuk mencari informasi merupakan kenyataan yang tengah haduir di hadapan masyarakat Indonesia. Riau TV, Jogja TV - Jogakarta, TV Borobudur – Semarang, Tarakan TV di Tarakan Kalimantan, Bali TV – Bali, Jakarta TV – Jakarta, Jatim TV (JTV) – Surabaya. Merupakan stasiun-stasiun lokal yang mencoba menawarkan lokalitas di antara stasiun televise yang berkomptesisi di pasar nasional dengan tayangan yang hampir senada, dan saling menjiplak di antara tayangan yang banyak disukai penonton. Stasiun televisi lokal yang hadir mencoba menawarkan lokalitas mereka yang tak tercover oleh televisi nasional. Jogja TV mmeiliki siaran bahasa jawa bertajuk Pawartos Ngayogyakarta dengan penyiar berpakaian lengakap adat Yogya. Juga dengan slogan Asli Jogja. Bali Tv dengan tayangan yang khas di antara mengupas tentang kesejarahan Pura, wisata di pulau Bali, juga tentang aktivitas perempuan bali di berbagai sektor kehidupan . Terang Abadi TV – Solo menggunakan bahasa jawa untuk tayangan berita bertajuk Trans Sadyakala.
Namun bahasa daerah tidak selamanya digunakan dalam pemberitaaan televisdi lokal, seperti tarakan TV mempergunakan bahasa Indonesia dalam pemberitaan. Hal ini dilakukan kota tarakan dengan kompisisi penduduk yang heterogen banyak yang tidak paham bahasa Tidung (bahasa suku asli Kalimantan Timur). Akan tetapi setiap stasiun televisi memiliki unggulan program untuk manrik minat pemirsa sehingga bisa menjadi kebanggan atau paling tidak dapat memgobati terhadap kerinduan lokalitas pemirsa. Mereka bisa mendengar pemberitaan sekitar kota tempat mereka tinggal.
Semacam inikah yang ingin ditawarkan oleh Madura Channel yang mencoba mermabah bisnis pertelevisian dan menjadi satu-satunya bisnis pertelevisisan di Maduira? Satu-satunya karena Madura Chanel salah satu stasiun televisi lokal yang mengantongi ijin untuk melaksanakan aktivitasnya secara legal. Juga salah satu stasiun televisi di Madura yang memiliki jangjuan wilayah Sumenep sampai Pamekasan. Sementara TV komunitas yang ada di Sumenep meiliki jangkuaan terbatas sekitar kota, yaitu TV Syis ( TV Syiar Islam) dan S3TV dari skretariat DPRD Sumenep.
Mengudaranya stasiun Madura Channel pada chanel 44 UHF di awal september ini merupakan sebuah kesungguhan dari Said Abdullah Institute untuk membangun jaringan televisi untuk memberikan siaran alternatif di antara stasiun televisi yang telah mengudara secara nasional. Keungguhan ini diawali dengan pemilihan tenaga operasional yang diseleski untuk bisa membawa stasiun Madura Chanel benar-benar menjadi satu-satunya TV bagi orang Madura. Keinginan untuk manjadikan satu-satunya televisi di Madura tentu tidak cukup hanya dengan kekuatan modal dan tersedianya sarana dan prasarana serta tenaga programer dan operasional yang juga memadai, progresif dan kreatif.
Momen Launching Madura Chanel di bulan puasa ini cukup meanrik dengan melakukan lomba nasyid islami yang disiarkan secara on air, serta lomba musik tongtong yang juga disiarkan malam hari. Secara on air dapat disambut sebagai langkah awal Madura Chanel untuk membangun karakteristik ke – Madura – anya. Juga adanya keterlibatan beberapa sekolah (SMAN 1 Sumenep, SMAN 2 Sumenep. Dan SMA Muhammadiyah 1 Sumenep) walau pun barangkali kerjasamanya belum dalam bentuk konkret. Namuin tayangan sinema pelajar tersebut telah memberikan ruang publik bagi siswa SMA di Sumenep untuk mempublikasikan karya. Artinya tayangan tersebut perlu ditindaklanjuti secara konkret untuk melibatkan sekolah sebagai bentuk manifestasi keterlibatan Madura Chanel terhadap pertumbuhan dan perkembangan kreatif di kalangan pelajar.
Kerjasama dengan lembaga persekolahan ini cukup menarik, karena di sisi lain Madura Chanel dapat menyeleksi hasil karya para siswa sebagai hasil kegiatan prakltik mata pelajaran Teknologi Informasi dan Komunikasi yang diselenggarakan di sewtiap sekolah menengah yang menarah kepada praktik pembutan film.Bahkan di SMAN 1 Sumenep, secara khusus ada kegiatan ekstrakurikuler yang menangani kreatifitas siswa dalam bidang senematografi. Potensi di kalangan pelajar ini patut dipertimbangkan Madura Chanel dalam artia konkret untuk juga terlibat dalam penanganan dan pengembangan kreatiifitas yang sesuai dengan karakteristik Madura Chanel.
Penaganan karakteristik ini menjadi penting, ketika produk sinema yang dihasilkan pelajar terjebak kepada tontonan yang banyak diprovokasi oleh media televisi komersial,; cinta, mistik, dan horor yang memuakkan. Apa yang terjadi pada karya pelajar yang ditayangkan di madura Chanel secara tematiok mereka sangat terpengaruh oleh tayangan televisi yang telkah menjajah kehidupan remaja kita. Saat mereka berbicara percintaan amat datardan vulgar, namun tidak pernah mereka mengangkat tema-tema humanis yang bersngakut paut dengan kehidupan mereka sendiri. Mereka bikin filmn tidak berangkat dari realitas persoalan kehidupannya. Jika dibiarkan semacam ini maka, akan hilang identisas lokal Madura Chanel yang konon berbasis pada tanah budaya Madura.
Presenter merupakan salah satu bagian dari suatu acara yang memikat pemirsa untuk bertahan di depan tayangans ebuah stasiun televisi. Namun apa yang terjadi dengan Madura Chanel. Presenter yang ada belum menampkan identitas personalnya dan kadang terasa kontras dengan acara yang dibawakan, sehingga menjadi sesuatu yang menggelikan. Bagaimana sebuah tayangan acara tidak menjadi sebuah tontotnan yang menggelikan saaat presenter dengan bahasa gaul mewawancarai salah seorang peserta lomba nasyid islami yang mempergunakan bahasa Indonesia dengan dialek ke-Madura-annya yang kental. Sebuah kepatutan yang lepas dari pertimbangan auditif yang kemudian terdengar lucu di pendengaran.
Namun semua tidak dapat memungkiri dengan hadirnya Madura Chanel akan mebawa hal baru dalam dunia pertelevisian di tanah Madura. Optimisme ini dapat dibangun dengan hadirnya Jatim TV dengan karakteristik tayangannya sehingga bisa membujuk pemirsa di kawasan tapal kuda Jawa Timur untuk menjadi pemirsanya. Karakteristik dengan bahasa dialek Suropboyo-an, Bahasa Jawa Kulonan, dan juga dengan Pojok Madura yang mempergunakan bahasa Madura yang “unik”, karena bukan bahasa standar yang umum dipergunakan masyarakat Madura.
Jika demikian banyak peluang yang bisa digarap oleh Madura Channel, untuk membangun karakteristik yang dikehendaki Madura Channel untuk bisa eksis ditengah persaingan bisnis pertelevisian. Tentunya karakteristik yang mengidentifikasikan ke - Madura – annya. Hal ini bukan hal yang gampang karena berhubungan dengan ketersediaan Sumber Daya Manusia yang mampu membaca secara kreatif dan bertindak secara progresif. Tanpa adanya ketegasan karakteristik, maka bukan tidak mungkin bahwa Madura Channel hanyalah sebuah stasiun yang membuang-buang dana tanpa pernah jelas apa yang menjadi target dan tujuan kehadirannya. Membangun proyek ideal memang tidak mungkin, karena pertelevisian berkaitan dengan permodalan. Tetapi memiliki kemampuan modal dalam pertelevisian tanpa memiliki idealisme untuk mencerdaskan masyarakatnya hanya akan mengisi ruang hampa tanpa pernah jelas yang telah dicapainya.
Tentu para penanam modal yang ada di dalamnya menginginkan bisnis televisi yang menguntungkan dan diuhadapanya telah hadir rakssasa pertelevisian yang diantara melakukan merger untuk membangun kekuatan bisnis yang bisa menguntunghkan dan tidak tertutup kemungkinan saling menjatuhkan. Kami hanya menunggu kiat dan silat para pembuat kebijakan kreator di Madura Chanel. Selamat datang di rimba pertelevisian, semoga bisa memberikan alternatif informasi dan hiburan ditengah kebuntuan tayangan hiburan televisi yang seragam dan kehilangan akal sehatnya.

Alalabang, Reaktualisasi Tradisi Lisan Ditengah Gempuran Kesenian Populer

(Alalabang, merupakan salah satu bentuk seni pertunjukan tradisi di Sumenep –Madura yang memadukan antara seni macopat, wayang gelagar, dan topeng dhalang. Seni pertunjukan ini terpilih untuk ,mewakili Jawa Timur pada Festival Seni Tradisi Lisan se Asia yang akan diselenggarakan di Jakarta pada tanggal 1 –4 Desember 2006)
***
Seni pertunjukan merupakan bagian dari tradisi masyarakat agraris yang memiliki hubungan dengan adat kebiasaan setempat. Suatu bagian dari keseharian dalam tradisi masyarakat petani yang berhubungan dengan sistem kehidupan mereka, daur kehidupan maupun dalam upacara keagaamaan. Di masanya seni pertunjukan tersebut mengadakan pentas dengan mendatangi rumah penduduk atau didatangkan untuk memenuhi hajat tertentu. Biasanya hajat yang diikuti dengan seni pertunjukan tersebut, berupa selamatan bumi (Rokat Bumi), selamatan karena punya niatan di lakukan di kuburan para sepuh (Bujuk) dinamakan Rokat Bujuk. Pertunjukan tersebut memiliki pola dan pakem yang standar, yaitu mereka mendatangi kuburan sesepuh (Bujuk) dengan membawa beberapa sesaji, acara doa tertentu, dan di antaranya terdapat pertunjukan yang dapat dijadikan tontonan dan tuntunan. Rokat Bujuk ini menjadi totik fokus garapan Alalabang. Sampai saat ini rokat bujuk menjadi pertunjukan rutin sertiap musim panen di desa Bun Bara’ – Rubaru.Di desa ini rokat bujuk dilakukan ke “Bujuk Barumbung”,makam Kiai Agung Barumbung, yang sampai saat ini dipercayai masyarakatnya sebagai kuburan keramat. Dalam Rokat bujuk biasanya dibacakan macopat tembang Artate dan Sengkle.

Pola pertunjukan seni tradisitersebut selalu dipertahankan secara temurun, menjadi suatu kekayaan budaya yang khas bagi setiap daerah, juga di Sumenep. Kekayaan seni tradisi baik berupa seni lisan (macopat), solo’an, tari /teater dan Topeng Dhalang menarik perhatian Agus Suharjoko dan Ahmad Darus bersama komunitasnya untuk mengemas kembali seni tradisi dan dipadukan dengan seni pertunjukan modern. Konsep perpaduan yang berpijak dari konsep rokat bujuk untuk dijadikan sumber inspirasi dalam seni pertunjukan Alalabang.
Alalabang, berasal dari kata labang, berarti pintu. Dimaksudkan seni pertunjukan tradisi di Sumenep (Madura) pada mulanya melakukan pertunjukan dari pintu ke pintu atau di undang untuk mendatangi rumah yang punya hajat. Rombongan Topeng dalang biasanya mendapatkan undangan pentas pada saat mengadakan pertunjukan., sehingga ketika manggung bisa berpindah dari satu rumah ke rumah lainnya selama beberapa hari tanpa sempat pulang ke keluarganya.
Dalam konsep pertunjukan Alalabang, mengambil tiga unsur seni tradisi; sastra lisan (macopat), Solo’an, dan Topeng Dhalang dipadukan dengan seni modern yang dipadukan berupa “Tari Mothak” (tari monyet).
Konsep panggung dengan dengan mermeergunakan layar topeng dalang sebagai background dengan peralatan musik saronen, siter, saron, gender, dan seperangkat gamelan.Salenthem, gendang, siak (kecrek). Jenis Gending: kennnong tello’, sarama’an, giroan (gending kasar), dan kejungan. Sementara tokoh topeng yang ditampilkan Anoman, pasusukan anoman, Indrajit dan pasukan Indrajit, serta Trijata. Nayaga dan para pemain termasuk dalang dan apneges tidak langsung berada di panggung. Saat musik gamelan dan saronen mulai dibunyikan rombongan musik diiringi dengan bacaan tembang , para pemain berjalan menuju ke arena pementasan.
Sastra lisan (macopat), dalam konsep alalabang merupakan media efektif untuk menyampaikan pesan dan memainkan improvisasi oleh penembang atau dalang. Dalam keleluasaan mengimprovisasi lakon, pertunjukan alalabang diawali macopat dan bajang gelagar, wayang yang terbuat dari tangkai daun singkong. Atau juga bajang pappa bisa terbuat dari pelepah pohon pisang.Mengisahkan cerita “Temon Pote” atau “Timun Putih” mengisahkan seekor kera yang dipelihara K. Agung Berumbung. Dalam kisah tersebut, kera diberi tugas untuk menjaga tanaman timun yang ditanam sang kiai. Mendapat tugas dari majikannya kera kemudian punya inisiatif mengecat timun tersebut dengan warna putih, sehingga terlihat jelas di malam hari, dan terlihat apabila hilang atau diambil pencuri. Konon kisah tersebut menyebabkan timun yang berasal dari daerah Barumbung (Sumenep) warna kulitnya berwarna putih kehijauan. Saat memainkan lakon cerita “Temon Pote” dalang memainkan wayang gelagar/ pappa, suatu bentuk simbolisasi bahan cerita yang dekat dengan kultur agraris setempat. Transisi penceritaan wayang gelagar ke topeng dhalang diawali dengan tarikan kuat wayang gelagar ke depan layar topeng yang ada di panggung. Wayang gelagar yang mewakili sosok kera putih terjatuh dan dari balik layar muncul peraga (penari) berkostum kera (Anoman).
Pertunjukan bergerak ke panggung dibuka Anoman yang tengah berada di taman Argasoka yang telah berhasil melaksanakan tugas Rama, menyampaikan cincin kepada Dewi Sinta. Anoman tidak mau kembali ke Anglengka tetapi tetapi memporak-porandakan Argaloka. Keberadaan Anoman di Argaloka diketahui oleh Trijata (diperagakan oleh laki-laki yang bgerperan sebagai perempuan). Trijata jatuh cinta kepada Anoman, dan percintaan mereka diketahui oleh Indrajit, membuatnya iri. Indrajit dikeroyok oleh pasukan Anoman. Ia lari dan kembali lagi dengan pasukannya untuk melawan pasukan Anoman. Perang tak dapat dihindarkan. Ending yang cukup menarik dalam pertunjukan ini, dalang memutus cerita peperangan. Dalang memerintah kepada pasukan indrajit dan anoman untuk membuka Tatopong (Topeng). Setelah membuka topeng yang dikenakan mereka berhenti melakukan perang. Suatu filosofi yang ingin menyampaikan pesan bahwa pertengkaran tidak akan menyelesaikan masalah. Bahwa pertikaian yang terjadi karena banyaknya kepentingan yang mengintervenbsi dalam kehidupan kita sehingga kita lalai kepada sesamanya.
*****
Pertunjukan yang disutradarai Agus Suhardjoko alumni Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta dengan dalang Ahmad. Darus merupakan sebuah upaya melakukan revitalisasi seni tradisi dipadukan dengan konsep seni modern. Mengumpamakan panggung sebuah bujuk, maka para peraga berada di luar arena (panggung) untuk membawa sesasji atau melakukan pertun jukan.
Sebuah revitalisasi dengan memasukkan cerita atau permasalahan aktual dalam lakon (macopat) dan memadukan tari mothak ke dalam topeng dhalang.Ikon mothak dalam pertunjukan ini cukup menarik berangkat dari kisah mothak atau kera yang dipelihara Kiai Agung Barumbung yang bisa memahami keinginan manusia. Adegan yang memiliki makna bahwa kera saja bisa berubah karena didikan manusia, apalagi manusia yang berakal.
Keberanian memasukkan peraga perempuan dalam tari mothak. Hadirnya penari perempuan dalam topeng dalang merupakan hal baru, karena sebelumnya topeng dalang Sumenep diperagakan oleh peraga laki-laki. Namun hal ini tidak merusak pakem karena, peran perempuan bukan sebagai peraga utama. Namun tantangan ke depan yang cukup menarik , adalah bagaimana mengolah seni tradisi pertunjukan Alalabang menjadi media untuk mengakrabkan kembali generasi muda dengan seni tradisi leluhurnya. Tentunya dibutuhkan keberanian untuk mendekati budaya kaum muda sehingga dapat menjalin matarantai seni tradisi di tengah masyarakatnya.
Hidayat Raharja adalah penyair, dan aktif dalam kajian seni tradisi madura
Alamat rumah: Perumahan Bumi Sumekar Asri
Jl. Dewi Sartika IX/12 Kolor – Sumenep

Selasa, April 22, 2008

PERCAKAPAN

Cerita terus meluncur dari kisah-kisahmu bukan itu
Naga gagah yang terbang dari sela tanganmu tak bisa diam
Langit dipenuhi hujan terus berjatuhan ke dalam percakapan

Ah matamu elang gunung yang menyambar burung-burung kecil di reranting
Menumpahkan cerita yang lain dalam senyum yoga
Aku melihat derap kuda menunggang kata-katamu dari arah pesisir yang kelam
Seratus kuda lepas dari kandang ke padang-padang yang tak lagi hijau ke hutan-hutan yang tak

lagi berkilau
Pohon api
tanah api
air api

betapa tipis batas antara kau dan dirimu
setipis bawang yang perih kala dikuliti
betapa bengis cerita yang kau sulam
sekejam paduka pada budak-budaknya

tiga bungkus rokok filter membakar ruangan
dan ceritamu mengasap dengan aroma ikan panggang dan pindang
bau pasir yang hitam, bau air yang berlumpur dan bau kota yang bernanah
cukup enam ribu kau bisa mewngepak seratus eksemplar

aku lihat marx tersenyum menanamkan janggutnya di dagumu yang oriental
suara genta yang merah kekuningan bergelantungan di wajahmu
menyalakan hio dan sesembahan di jidatmu
membacakan doa-doa yang tak sempat aku hapal dan tak sempat aku catat

33 penari mengiringi tarian tubuhmu yang berputar di antara tarian hujan

PESISIR

; bersama mardiluhung

Inilah yang paling pesisir dari kau
saat gerak tangan,mata dan mulutmu
mengalahkan hujan yang merajam siang itu

sawah-sawah mulai tergenang
bau air menyengat siang
tapi hujan di dadamu kian deras merajamkan kenakalan dan

ketegangan kelamin tak tersalur
adakalanya ketegangan di balik kepalamu
butuh kau benturkan ke balik mesum yang tersembunyi

lupakan sejenak kau
berhujan-hujanlah dengan lelehan air membentuk molek
perempuan sesekali merayap kayalmu atau mendekap dan merangkul igaumu

air kian deras menghujani tubuhmu membasahi kisahmu
kelopak matamu mulai berduri menatap istri yoga
bukan mawar, tapi bunga jantan

sulur-sulurnya membelit rawa
akar-akarnya menembus belukar; poligami!
diam-diam dan sembunyi

kau intip tubuhnya di belakang kesetiaan istri
yang menanam doa di antara tekanan tekanan
yang kadang menyesakkan

kau buka dadanya dan kau remas segumpal daging
kau santap sesaji penutup makan siang
kau buka tengkoraknya dan kau baca kenangan mesum

yang terperangkap di otak besar
kau berkelana pada tiap ruas persendian
ke pangkal kelamin kau intip saluran-saluran

penyedot dan pembuangan, pemanas dan pendingin
pembuka dan penutup
saluran tempat kau masuk dan kau keluar

meminum dan diminum. Tempat kau diintip dan ditelan
:”kau dengar ratapan bulu-bulu memanggilmu
di atas tengkuk dan nafasmu!”

jalan-jalan yang kuning
di antara rumah-rumah tak bertanda
dan jalan-jalan tak bernama, setapak

setapak dan makadam, aspalan. Jalan-jalan ke ujung
liku-liku ke gunung
gunung-gunung mulai meninggi bumimu

kawah-kawah mulai memanas dalam dirimu
gresik jejakmu, di atas kerumunan udara tuba dan langit abu
pantai-pantai hitam dan para kelasi

yang nakal singgah pula di hotelmu
dengan jendela kata begitu luasnya
di kamar perempuan menunggu

dengan gaun hijau belahan dada terbuka setinggi paha
meringkuk di dipan yang remang. Kau atur pertemuan
mereka, di remang bulan aroma pindang dan cakalang yang mendidih

kucing belang menyantap hingga tulang
kau mengintip hingga erang
gumam pelabuhan

bintang-bintang muram di kejauhan
barisan cahaya dari tiang-tiang kapal terengah-engah
menahan beban perjalanan

sejengkal lagi ke pantai
perempuan-perempuan berjaga menunggu para kelasi
yang tengah menambatkan sauh

gemetar ombak pecah membasahi tangga
dan satu dua tiga bahkan lebih lagi menepi
dan perempuan-perempuan bergelak memegang kepala jangkar

ditenggelamkannya ke ceruk yang becek, aroma kembang dan alkohol
antara hirukpikuk dan sunyi
sapa membaca alunan kitab suci

di meja 33 botol tuak dan 99 gelas kristal berkilauan
disambar lampu kamar
2006

BUKU BACAAN UNTUK GURUKU

Oleh: Hidayat Raharja*

Setahun terakhir ini ada dua buku novel yang tak jemu aku baca berulangkali. Dua buku yang banyak mengoncang emosi, memberikan inspirasi dalam pekerjaanku. Dua buku itu antara lain: “Totto-chan Gadis Cilik di Jendela” karya Tetsuko Kuroyanagi terbitan PT. Gramedia Pustaka Utama - Jakarta, dan “Laskar Pelangi” karya Andrea Hirata terbitan PT Bentang Pustaka – Jogjakarta.
Dua buku ini sangat menarik untuk dijadikan bacaan wajib bagi para guru yang melakoni profesi sebagai pendidik, karena dua buku ini berkisah tentang dunia pendidikan yang terbuka, inovatif, kreatif, dan demokratis. Sebuah penceritaan yang mengisahkan pengalaman belajar siswa yang membuatnya berhasil dalam kehidupannya. Sukses dalam hidup karena peran guru yang sangat arif dan bijak dalam menangani tingkah-polah siswanya yang beragam. Ceritanya mengisahkan lembaga sekolah bukan hanya lembaga yang mencetak anak seperti yang diinginkan guru, tetapi mampu berperan sebagai “minisocity” sehingga siswa bisa mengembangkan diri, belajar bermasyarakat sebelum terjun ke masyarakat yang sesungguhnya.
Sekolah sebagai lembaga yang memfasilitasi dan mengembangkan potensi anak sesuai dengan bakat dan kemampuannya, dapat dinikmati dalam kedua buku ini, yang dipersembahkan pengarang untuk guru tercintanya. Sebuah cerita yang mengungkapkan memori mereka dalam mengeyam pendidikan di sekolah, dan bagaimana guru memperlakukan dirinya sehingga bisa sukses dalam menempuh kehidupan.
****
“Totto-chan Gadis Cilik di Jendela” di antaranya digambarkan betapa sedihnya mama Totto-chan ketika anaknya dikeluarkan dari sekolah karena dianggap nakal, tidak bisa diam, dan selalu mengundang kegaduhan. Tetsuku Kuroyanagi (nama asli Totto-chan ) menceritakan pengalamannya dikeluarkan dari suatu sekolah, karena guru kelasnya menganggap Totto-chan sulit diatur. Pada hal Totto-chan memiliki rasa ingin tahu yang luar biasa. Betapa emosionalnya wali kelas menceritakan kenakalan Totto-chan kepada mamanya. “ Kalau dia tidak membuat kegaduhan dengan mejanya, dia berdiri. Selama pelajaran!” Bahkan Totto-chan berdiri di depan jendela menunggu rombongan pengamen lewat untuk memainkan musik dan memanggil teman-temannya untuk menonton, sehingga suasana kelas menjadi gaduh, bahkan sanpai mengganggu ke kelas di sebelahnya. Guru Totto-chan tidak mampu lagi menanganinya, sehingga dikembalikan lagi kepada mamanya.
Memiliki anak yang dianggap nakal dan bermasalah merupakan beban berat orangtua. Begitu pun mama Totto-chan. Akhirnya menemukan sekolah baru di Tomoe Gakuen. Sekolah yang sangat menarik, karena kelasnya mempergunakan gerbongh kereta api bekas. Wajah mama dan Totto-chan berubah menjadi gembira, ketika bisa diterima di Tomoe Gakuen. Saat menemui kepala sekolah untuk mendaftarkan diri, Totto-chan disuruh menceritakan pengalamannya. Sosaku Kobayashi – kepala sekolah di Tomoe Gakuen dengan sabar dan ceria mendengarkan cerita Totto-chan selama hampir empat jam. “kau diterima di sekolah ini!” saat Totto-chan mengakhiri ceritanya. Betapa senang dan gembiranya Totto-chan diterima di sekolah yang ruang kelasnya berupa gerbong kereta.
Hari-hari di sekolah Tomoe Gakuen sangat menyenangkan. Mr.Kobayashi sebagai kepala sekolah dengan sabar dan telaten memantau perkembangan anak sesuai dengan bakat dan potensinya, menemani berkemah di aula, makan siang bersama dan memasak bersama. Satu hal lagi di sekolah ini Totto-chan menemukan keasyikan belajar . Di Tomoe Gakuen, para murid juga boleh mengubah urutan pelajaran sesuai keinginan mereka. Ada yang memulai hari dengan belajar fisika, ada yang mendahulukan menggambar, ada yang ingin belajar bahas terlebih dahulu. Pilihan sesuka hati mereka. Karena keunikannya maka Totto-chan kerasan di Tomoe Gakuen.
Ternyata tanpa disadari di Tomoe Gakuen siswa bukan hanya belajar fisika, berhitung, musik, dan lain-lainnya. Ia juga mendapatkan banyak pelajaran berharga mengenai persahabatan, rasa hormat dan menghargai orang lain yang berbeda, menyayangi temannya yang menderita, mengunjungi temannya yang kesusahan serta kebebasan menjadi diri-sendiri.
***
“Laskar Pelangi” karya Andrea Hirata tidak jauh berbeda dari “Totto–chan Gadis Cilik di Jendela” tidak jauh berbeda. Namun “Laskar Pelangi” sangat menarik karena kisah yang dibangun Andrea berangkat dari pengalaman belajarnya di sebuah daerah tambang yang kaya, namun anak-anak kampung asli di Belitong yang miskin penuh semangat dan antusiasme untuk mnemperbaiki hidup dengan menempuh pendidikan formal. Ia bukan hanya menceritakan bagaimana anak-anak para buruh kopra, buruh tambang, dan anak-anak nelayan membangun mimpi untuk memperbaiki nasib hidupnya.
Bahkan heroisme mereka para Laskar Pelangi memperjuangkan harkat dan martabat sekolahnya sehingga mampu bersaing dengan sekolah PN milik Perusahaan Pertambangan Timah. Betapa menegangkan usaha mereka untuk bisa mengangkat martbat sekolah dalam sebuah karnaval di bulan Aagustus, dan di arena lomba cerdas-cermat untuk mengukur ketangkasan dan kepandaian dalam menjawab soal-soal yang dikompetisikan. Jerih payah para tokoh dalam Laskar Pelangi, tidak lepas dari peran Bu Mus (Muslimah Hafsari) sebagai guru kelas mereka di SD Muhammadiyah dan Pak Harfan Effendy Noor- Kepala Sekolah yang dengan penuh kearifan,sabar, terbuka, dan bersikap demokratis membimbing siswa-siswanya untuk maju dan menggapai cita-cita yang diimpikan.
Bu Mus, guru yang sabar, telaten, tabah, dan tekun hanya dengan penuh keikhlasan membimbing siswa-siswanya di kelas sebanyak 10 orang hanya dengan bayaran beras 15 kg setiap bulan, beliau dengan tulus nan ikhlas membimbing dan mengembangkan potensi murid-muridnya sesuai dengan bakatnya. Bel;iau guru memiliki pandangan jauh ke depan untuk keberhasilan siswa-siswanya. Beliau menyusun sendiri silabus pelajaran Budi Pekerti dan mengajarkan kepada murid-muridnya pandangan-pandangan dasar moral, demokrasi, hukum , keadilan, dan hak-hak asasi jauh sebelum orang-orang meributkan paham materialisme versus pembangunan spiritual dalam pendidikan.
Mahar yang baik kreatifitas seninya, Lintang yang jagoan matematika, Kucai tidak pintar tetapi pandai bersilat lidah, pintar melobi akhirnya sukses sebagai anggota parlemen. Si ikal anak buruh tambang yang pintar akhirnya bisa menempuh pendidikan sampai ke benua jauh. Mereka berhasil membuktikan bahwa anak-anak orang miskin bisa merealisasikan impiannya menjadi nyata.
***
Dua buku novel ini amat pantas kalau dijadikan bacaan wajib bagi para guru, karena kreatifitas dan inovasi yang dilakukan oleh tokoh dalam buku ini amat relevan dengan kondisi pendidikan Indonesia saat ini. Bagaimana mereka membangun kemungkinan-kemungkina terbaik pembelajaran dalam fasilitas yang terbatas. Tuntutan untuk melakukan pembelajaran kontekstual dan konstruktif diceritakan dengan keterbukaan Mr. Kobayashi (Sosaku Kobayashi) untuk mengundang petani sayur di sekitar sekolahnya untuk mengajarkan bertani bagi musrid-muridnya di Tomoe Gakuen. Membangun keakraban dengan murid-muridnya dan membangun kepercayaan diri bagi murid-muridnya untuk bisa sukses, merupakan resep utama yang ditanamkan Mr. Kobayashi, sehingga murid-muridnya merasa nyaman dan senang sekolah di Tomoe Gakuen.
Bu Mus (Muslimah Hafsari) merupakan guru yang tetap menemukan aktualitasnya dalam perkembangan pendidikan Indonesia saat ini. Beliau tidak hanya memandang pendidikan sekolah hanya sekedar transfer pengetahuan namun juga memiliki tanggungjawab untuk mengembangkan anak didik sesuai dengan bakat dan potensinya. Sejak dini anak-anak telah diperkenalkan pada budi baik untuk berbuat amar makruf nahi munkar. Beliau tidak mengajarkan budi pekerti sebagai teori belaka, namun dengan perilaku yang dijadikan tauladan bagi anak didiknya. Menyikapi perbedaan pendapat dengan dan antar muridnya dengan penuh kearifan. Pak Harfan Effendy Noor sebagai kepala sekolah selalu merealisasikan keinginan siswanya dalam keterbatasan yang ada.
Kedua buku ini merupakan sindiran bagi dunia pendidikan kita saat ini untuk bisa mendidik anak yang bukan hanya pintar tetapi juga berbudi dan berakhlak, serta beradab dan mampu menghargai dan menghormati gurunya. Penghormatan terhadap guru yang ditunjukkan oleh Tetsuko Kuroyanagi dan Andrea Hirata dengan mempersembahkan karya besar ini untuk guru-guru yang dicintainya.

Penulis adalah esais, guru di SMA 1 Sumenep