Translate

Kamis, Desember 22, 2011

PENGANTAR MAYAT

1/
Inilah akhir pertemuanmu dengan teman kerabat
Kau yang beku memutar masa lalu
Saat-saat akhir ke awal kita bertemu
2/
Wajah paling mengesankan yang pernah kupandang
Kau dengan pakaian paling mapan putih kafan
Tujuh meter bersegi kekanan dan kekiri
Menggulung gelondong tubuhmu sendiri
3/
Di luar ada perjumpaan antara kawan lama
Mengurai waktu ke lalu masa
Saat-saat masih berhujan-hujanan
Sampai kerutan waktu menempel sekujur badan
4/
Ah, yang menangis berhentilah
Biar dia pergi dengan pasrah
Air matamu takkan menjagakannya
Pun takkan membahagiakannya
5/
Dia pergi sendirian membawa bayangan diri
Yang selama ini dipanggangnya di bawah matahari
Hanya sunyi, hanya sunyi, hanya sunyi
Mengantar dalam kegelapan bumi
6/
Perempuan paling cantik dan lelaki paling tampan
Biarkan aku mengenang bulan dan bintang
Yang pernah kau semat di badan
Semoga menjadi penerang dalam kegelapan
7/
Sepergimu ada yang selalu menahan rindu
Di atas pusara waktu berlamat buntu
Tangis menggemburkan kenangmu
Dan doa selalu menguatkan rasa haru
2011

Senin, Oktober 24, 2011

DURIAN MERAH

Inilah jantungku kedalaman rimba dalam diri. Hutan-hutan diam dan sunyi mengerami matahari. Darahku menyala dalam daging menerangi jalan trenggiling. Dukadan suka yang kuperam dalam tabah musim pun rebah dan rekah. Mematangkan bebijian hati yang sembunyi dan sepi. Duri-duri tahun mengerubung kau sangka, aku sombong. Betapa cuaca mengajarku ramah menerima sangkamu entah. Bunuhlah aku dalam kilau pisau hasratmu. Sebab, aku telah tuntasi sedekah tanah dan kenduri matahari. Di merah dagingku, selalu kutunggu kisahmu, kekasihmu mengelupasi kulit rindu.

TRETES

TRETES
Tebingtebing miring di antara dingin yang berduri
Pohonan melambai di sepanjang malam, jerit angin di antara lenguhan musik dangdut
Dalam merah cahaya unggun. Gunung-gunung berasap menebarkan cuaca pucat gemetar bintang-bintang meraih hutan hitam jagakan singa yang tertidur di jantung sepi. Bulan merah menjamah belukar di antara dengung kumbang menyerbuki putik bangkai. Bukit petang mengandung kutuk matahari di kelokan sungai-sungai menuju pilu. Tepat dipoucuk pagi batu-batu menggigil getarkan kelamin memuntahkan air mata

OTE-OTE

Inilah rajangan tubuhku renyah kobis dalam lumuran terigu yang dikulak dari pasar baru. Ada pedih merintih dalam cacahan kulit dan daging, adukan tangan cekatan. Mengaduk nasib dari ladang-ladang di lereng gunung dan hamparan gandum di padang jauh. Getah darahku yang bening menggantikan airmataku yang tak lagi mampu menadahi nyeri. Hanya tinggal kepasarahan yang paling dalam membaluti kulit telanjangku di atas panggangan bara api. Dalam kubangan didihan minyak sawit yang sengit. Tubuhku hangus di antara gelembung minyak yang meletup. Meletupkan gairahku untuk memasuki tubuhmu. Kemudian lenyap dan kau lupakan dalam lelap.

Kamis, Oktober 13, 2011

GORENGAN

Pada tubuhku yang berminyak
melebur segala sayurmayur,rempah,dan tepung gandum
Riwayat pasar yang terbakar dan ladang yang tergusur
aku ingat kembali riwayat nasib yang beredar dari musim tanam
ke musim tebang

Senin, Oktober 03, 2011

BLACK FOREST

Ladang gandum yang terbakar menerbangkan ribuan serangga di langit yang kelabu
Gugusan asap menebar aroma yang hangus berbaur letukan kembang coklat yang meleeh di kebun belakang. Panas yang membara, tanah hitam dengan luka karbondioksida. Dalam udara ruangan yang memanas di atas seratus derajat celsius. Tanah-tanah merekah siap menelan apa saja dengan aroma wangi senja.
Sepotong garpu dan sebilah pisau di genggaman siap menyayat kulit tubuh yang melepuh di meja yang angkuh. Di atas taplak bersulam bunga tropika segelas teh hangat dituangkan dan bilah pisau menyayat hamparan tubuh yang coklat kehitaman. Aroma vanila dan kacang merah meruap menusuk ingatan yang lama tenggelam di masa silam. Membuka kenangan satu poer satu, perjumpaan denganmu. Membuka kembali tanah-tanah jauh dari lereng kebun coklat yang rindang menatapi ladang gandum yang berebahan dibelai angin selatan. Di ruang tamu semua hadir kembali melompati jendela ke arah bukit itu, tempat kau dan aku pernah menyarangkan madu.

Minggu, September 11, 2011

KELENGKENG

Kuning langsat kulitmu menyimpan daging tubuh ranum. Lendir gula
membasah di sekujur badan menggetah dalam lidah ingatan yang menjulur
ke belakang.Biji hitam jazadmu simpan musim yang berguguran dari
rerimbunan waktu. Buah-buah berlekatan pada tangkai di batang ketulusan
yang pernah kutanam di pematang sabar. Di hujan pertama saat mendung berderai
sambut musim semai
2011

KEPITING BUTA

Gelisah laut hitam dan pantai hijau meniciumi karang.
Kepiting buta menyeret punggungnya
simpan kegelisahan yang merah. Ada aroma luka ketika aku
menyusuri bakau, tinggal desau. Akar matahari merah menembus
batu senja, semburan darah jingga di sekujur ketam bakau.

Makan malam yang pedas di ruang remang, menelan bayang
jejak dan desis lidah. Cecabang bolamatamu tertahan
seraya nahan nafas menunggu jatuhnya malam di bandaran.
2011

IKAN LAUT

Di gempuran arus aku bertahan hidup
telan plankton hindari sergapan ikan besar
Air asin mengepung memasuki tubuh
namun tak merubah jazadku
Di debar jantung aku redam gelegak gelombang
membuatku seteguh karang
Di meja makan kita bertemu
bercakap sambil berbagi
memulangkanku ke lubuk
Lambungmu
2011

PODIUM

Di tubuhku ribuan janji didengungkan
Ribuan kepala mengangguk menahan kutuk
2011

Kamis, Juli 14, 2011

KEMBANG MERAH

Ringkik kuda itu memekakkan malam, berderap menyusur aspal jalanan. Pekak ladam memukul pendengaran. Payung hitam di atas ribuan kepala diguyur lampu jalan, mengabadikan pasangan remaja yang tengah menabur kembang merah. Lengan sungai merngkul dingin, dan kesunyian yang hijau bersama tumpahan gerimis berjatuhan dari rambutmu. Dan dua mata mengintip dari cadar malam, menghitung guguran pedih dari atap-atap waktu yang berkarat.

DAUN 1

Angin mematahkan pegangan
Tangkai melepas lekatan
Aku berlayangan
Rebah mencium daratan

DENTANG GENTA

Dentang genta dalam jantungku
selalu berpacu dengan waktu
menggugurkan angka-angka
yang berlekatan pada usia

RIWAYAT SEBUAH PINTU

Daun yang melekat pada tiangmu,menjaga waktu,
serta lalu-lalang di situ
jalan masuk sebuah kamar jalan keluar ke halaman
celah, tempat orang-orang lewat
celah, tempat hati tertambat

Selasa, Juni 07, 2011

KELELAWAR

Mamalia hitam itu keluar dari rongga dada mencari buah cahaya yang matang di ranting malam. Kelepak sayap bersedekap di antara putikan doa yang berguguran disela dedaunan rindu. Hanya kemeresak yang terdengar dan gedebuk ranum buah berjatuhan di pungggung petang.
Bebijian berserakan tersesap tanah seresah, menunggu musim basah. Ada dengkur di antara gairah gemuruh angin di musim kering. Saat-saat dingin memekarkan kembang asam. Kembang kecut yang harus dihirup. Namun bukan itu makna hidup. Kembang yang menunggu waktu berbuah tiba dan biji-biji kembali menjatuhkan diri di haribaan bumi. Bumi yang menyimpan daging buah kesabaran. Buah yang bergelantungan di tangkai-tangkai bulan. Di kelembaban air mata, bebijian menyuburkan belantara dan butir-butir cahaya berjatuhan dari lancip umur bersama ceriv\cit mamalia menggelantung di lubang matahari.
2011

ADENIUM

Mahkota merah muda menyala, di atas junjungan kepala sang raja.
Mahkota yang ditopang batangan cuaca yang terbakar
dan guguran prajurit hijau di bawah terkam pisau cahaya.
Bila kau cium wanginya, jangan lupa mengiriminya segenggam cahaya pagi
dan sedikit airmata, sumber mata air yang akan mengambangkan bahagia.
2011

Minggu, Mei 01, 2011

LARVA

Bulu-bulu berledakan dari tubuhmu. Tubuh yang telah kehilangan keseimbangan dan terkontamninasi; sacharine, pestisida, formalin dan toksin biokimia. Butiran borax menetaskan ulat. Fungisida menjamurkan belatung. Tubuhmu meledak mencari dedaun. Memburu anghin dan memburu air. Bulu-bulu tubuh menjadi semak belukar. Menyimpan bisik-bisik, juga rencana meniadakanmu. Kupu-kupu tak lagi mencium putik madu, kehilangan norak bunga. Maka, di hijau daun-daun muda ia letakkan ratusan bom yang siap diledakkan hujan dan matahari. Bom yang menyimpan dendam juga rindu. Serindu kau tak berbagi dengan kekasih.

Serpihan tubuhmu berledakan, bulu yang berwarna kelabu di batang-batang syahwat dan hasrat. Di batang ingatan yang lupa. Di reranting usia yang sia. Bulu-bulu menjadi duri-duri. Jadi pepohon yang berderet di tepian kali dengan tangan-tangan hitam oleh kenangann yang tenggelam dalam lumpur kalimarengan. Kali yang dipenuhi rerambut gimbal Hydrilla yang merambat di antara bekas bungkus swalayan.

Serpihan bulu memenuhi jalan raya menjadi rambu-rmabu, marka jalan. Memanjati dinding rumah membentuk sketsa pemburu di dinding gua zaman batu. Memasuki lembaran-lembaran kitab yang selalu dilantunkan di deret waktu. Ia memakan abjad, tanggallah potongan ayat. Ia hisap tintanya hingga kalimat jadi senyap. Memasuki matamu, menutup pandang lalu memasuki kepompong waktu.

Tubuhmu bergelantung dengan seutas nilon menjerat leher. Dari setiap pori tubuhmu ulat-ulat bertetasan dengan cairan coklat kehitaman menggenangi ruang, memasuki gorong-gorong. Menyusuri sungai, menuju laut pasang dalam dadamu.

2011

BULAN BIRU

Hujan yang pertama jatuh adalah tubuhku di tubuhmu. Menggenangi persawahan di saat langit memerah di pipimu. Bulan mengambang dari dua matamu yang sedikit tertututp dan setengah terbuka. Genangan terus meluap jadi sungai. Jadi laut. Kita tenggelam, memanen karang dan terumbu, ikan-ikan dan semua yang bernama bahagia. Lelambai obelia dan uburubur, salam lili laut dan akar bahar. Semua penuh debar. Sebagai kerang kau dan aku mengeram. Julur-sembunyikan tubuh mengikuti irama ombak menempuh. Pantai yang kukuh. Kita bikin jukung dari kekayu diri, seberangi laut. Hujan yang pertama,

2011

Rabu, April 27, 2011

SINAR BUMI

Matahari terperangkap, ia tak bisa lari dibenturkan ke dinding batu, hingga memuncratkan darahnya yang kekuningan. Darahnya meleleh dan terus meleleh membasahi ruangan dan menggenangi bunga-bunga yang tengah menerbitkan kuncupnya. Matahari terperangkap, dijaga oleh Tuan Mulia dan Nyai yang setia. Sepasang kekasih yang cintanya selalu bercahaya.


Cahaya memantul dari wajahnya, ada namamu di situ. Nama yang kerap disebut, nama yang selalu disambut. Nama yang juga memantulkan cahaya biru. Cahaya yang meresap ke lembar dedaun dalam ruangan, bergerak melewati pintu, jendela dan ventilasi yang selalu terbuka. Memeluk batang-batang asoka, dan euphorbia. Cahaya yang memekarkan kembang merah di ujung pagi. Kembang-kembang yang tak pernah disebut dalam doa, namun selalu menyerbuki pagi.

2011

Jumat, April 22, 2011

LEMBU

Aku menunggangi lembu hitam yang telah kau siapkan sebagai penarik barang. Tubuhnya kekar mengikuti langkah ke berbagai arah. Lembu hitam, lembu yang pernah digembalakan di rumput belukar sumekar. Lembu yang urung disembelih buat memperingati seribu hari kematian kakek. Lembu hitam, yang kerap mengawini lembu betina tetangga dengan ganjaran 15 butir telur ayam kampung atau 10 butir telur bebek.

Lembu itu menjadi pulau, yang ditumbuhi nyiur, tangannya selalu melambai ke arah kampung pesisir. Hutan santeki yang anggun dan cantik. Pulau yang cantik, wanita-wanitanya selalu berbedak dan bergincu sambil menunggu kabar dari rantau. Di pulau itu, lembu berpesiar ke balik balik karang dan belukar. Sembunyi di lubang bebatuan yang belum diruntuhkan. Berjalan mencari padang baru, rumput haru.

Memasuki perkantoran, lembu itu tak bersuara tetapi kuku kakinya berderap bersintuhan dengan muka ubin. Bunyi yang mengingatkan jam-jam masuk, bunyi yang mengingatkan jam kedatangan. Juga bunyi yang menggetarkan diam-diam perselingkuhan dan pembunuhan dalam film koboi. Lelaki dengan celana jeans, spatu warrior menunggang kuda jantan dengan rerambut berurai.

Di tengah lapar, lembu dan penunggang memasuki restoran cepat saji. Gorengan, panggangan, dan bakaran. Secepat kilat. Sebuah meja dengan baris menu dihamparkan sambil mendengarkan instrumentalia dari pemutar cd. Di nampan gumpalan-gumpalan cahaya disanding semangkuk kilau sop buntut, bagai kawah gunung api yang siap erupsi. Potongan daging merah di ujung garpu berlumur kental kecap pilihan, gugusan senja yang ditangkap petang. Gugusan yang dibakar hangat rerempah meriangkan malam. Seriang lembu yang bertemu di meja makan, mengenyangkan bahagia.

2011

Minggu, April 10, 2011

MOLLUSCA

(1)

Siput yang perut berkaki perlahan melewati jalanjalan tajam dan nyeri. Tubuh yang berlendir melumuri takdir. Takdir baik dan takdir buruk. Dalam cangkang menungging langit.gelap dan terang . sepasang mata tak terduga, membaca bumi dan langit dalam redup cahaya tak pernah padam, selain kematian.

(2)

Ahai si cumicumi yang kepala berkaki dengan sepuluh tangan berakar menarik lautan. Menarik kapal-kapal nelayan dan jaring-jaring lautan. Semprotan darah yang hitam, darah yang menyemburkan malam menyesatkan hiu dan pari. Jalan ke belakang, jalan ke rumah karang yang berpintu di depan. Jaket merah. Jaket yang menarik kapal selam mengarungi biru rumpun karang dan terumbu. Kapal yang membawa kabar, mengusung bulan dan matahari di atas sampan. Kabar kedatangan dan kepulangan, kabar yang membawa berkeranjang matahari dan berpikul bulan dalam pangkuan.

(3)

Selamat datang di kerang dua pintu, terkatup jadi satu.menghitung kedalaman dan hempasan di atas gelung karang. Hutan-hutan terjal tempat mengeram dan membiakkan keturunan. Di bawah sinar bulan saling berpagut, membuka pintu dan lendir pun berlekatan. Mengukuhkan getaran-getaran yang berpusaran di rahang laut yang tak pernah surut. Sepasang kelamin mengintai di bakau pantai tempat matahari bertumbuhan dan masa depan berurai.

(4)

Selamat menuai bahagia, Gurita. Onggokan derita dengan sepuluh lengan-liar membelit dan menggulung ikan-ikan kecil dan dekil. Lengan yang lekat dan liat licik menggeliat. Di atas batu-batu petang dan hamparan buraian usus matahari di atas perairan kelabu. Kau telan. Tentakel-tentakel memanjang menekuk buntalan-buntalan daging nasib. Gumpalan yang bertenun cacing, berserat malang kawat- karat. Kawat-kawat yang membentang di atas perairan. Di atas pulau dan diatas pukau. Negeri para peri yang menyulap batu-batu jadi air. Hutan-hutan jadi kubangan lumpur, dan perkampungan jadi kubangan kerbau. Kerbau kuning dan kerbau biru yang bersepatu melintasi tanggul di sepanjang kolam panas. Kolam buas. Selamat menuai bahagia. Bahagia,

2011