Translate

Minggu, Juni 09, 2019

Puisi; Tubuh yang Bertabur Kode Genetik


Puisi; Tubuh yang Bertabur Kode Genetik
 oleh: Hidayat Raharja *

Puisi sebagai tubuh merupakan setumpuk organ-organ yang saling berinteraksi untuk merepresentasikan respon terhadap lingkungan. Organ-organ yang tersusun dari jaringan kata-kata sebagai rangkaian pesan terhadap lawan komunikasi atau lingkungannya. Maka setiap sel yang menyusun tubuh, setiap kata yang menyusun bangun tubuh puisi bukan tak ada makna, melainkan sebuah sistem yang mengkodekan atau menandai sebuah persoalan. Tubuh yang peka terhadap setiap perubahan di luarnya, serta memberikan respon sebagai aktivitas menjaga keseimbangan (homeostasis) dan keberlanjutannya (sustainabilitas). Pada posisi semacam ini maka, penyair menjadi pencipta yang membangun tubuh puisi. Atau dalam bahasa Affandi, penyair (seniman) melakukan peniruan-peniruan dari alam sekitar untuk menjadi sesuatu yang baru. Karena sesungguhnya tidak ada suatu penciptaan yang terlepas dari gesekan, interaksi, dan konjugasi dengan faktor-faktor di lingkungannya.

Hubungan puisi sebagai tubuh, dan penyair sebagai pencipta merupakan  pertarungan untuk saling menaklukkan. Penyair menaklukkan perisitiwa keseharian sebagai bahan baku kata untuk membangun tubuh puisi. Sementara puisi menaklukkan penyair untuk mengubah sebuah subjektivitas peristiwa menjadi objektivitas yang bersifat universal. Sebuah pertarungan yang membutuhkan mentalitas, kemampuan intelektual, dan kontemplasi sehingga bahasa yang terbuka menjadi tertutup dan memberikan peluang makna yang lebih variatif. Kreativitas untuk menaklukkan peristiwa ke dalam puisi merupakan pertarungan-pertarungan personal untuk memungut bahasa sebagai identitas pengucapan yang segar dan mendebarkan.

Dalam tubuh puisi, organ-organ saling berinteraksi menangkap persoalan-persoalan di sekitar sebagai stimulan yang direspon dengan bahasa sebagai komunikasi kepada di luar dirinya. Komunikasi yang berbeda dengan kabar berita yang menyampaikan informasi secara langsung. Tubuh puisi, merupakan bahasa yang terbungkus sehingga memberikan berbagai pintu untuk memasuki, memahami dan memberikan respon kembali. Bahasa yang memberi kemungkinan untuk membuat tafsir dan menjadikan puisi sebagai tubuh yang rela dijamah oleh setiap penikmatnya.

Di sisi lain, tubuh puisi merupakan sebuah cermin perkembangan peradaban saat penyair melahirkannya. Tubuh yang dipenuhi aksesori bahasa dan peristiwa. Bahasa yang hadir ditengah hiruk-pikuk komunikasi dengan berbagai perangkatnya, serta peristiwa yang menjadi pembangun tubuh yang tumbuh. Pilihan diksi sebagai kode genetik pembangun tubuh, tentu berhubungan dengan bahasa atau peristiwa keseharian yang hadir atau ditemui penyair. Bahasa, entah sebagai pilihan yang telah dimiliki orang lain atau pilihan yang kemudian menjadi milik (identitas) personal.

Atau secara genetis tubuh puisi sebagai eskpresi dari materi genetik. Suatu sifat unik yang hadir karena adanya rekombinasi genetik antara pengalaman eksternal yang berangkai dengan pengalaman internal atau batiniah. Jika sama dengan ekspresi yang telah ada tak lain merupakan sebuah pewarisan genetik yang berlangsung tanpa adanya rekombinasi. Ini terjadi pada peristiwa pembelahan secara vegetatif, atau pada peristiwa cangkok atau kloning terhadap kode genetik. Kemungkinan-kemungkinan yang berkelindan di antara dunia kreatif. Bahwa genetika dalam tubuh puisi tidak tunggal tetapi varian-varian itu muncul dari hasil silang atau hibrid yang terjadi baik secara alamiah mau pun dengan rekayasa, yang didasarkan pada perkembangan sains.

Membaca puisi-puisi yang terangkum dalam antologi “ Bait-bait Rindu Bukit Burâs” kumpulan puisi dari Avan Fathurrahman, M. Ridwan, Moldy Auzora, Sufyan Abi Zet, Yayan Koeneink, Zam’sta seperti melihat sebuah eksprei genetik yang berbeda di antara mereka. Genetika sebagai bahan internal yang mempengaruhi terhadap puisi. Telaah ini tak lain merupakan salah satu cara saya memasuki tubuh dan ekspresi puisi dengan melihat faktor genetik yang membangun dan mengekspresikan tubuh puisi. Tubuh yang mengingatkan terhadap puisi sebagai ciptaan, dikendalikan oleh faktor genetik yang mempengaruhi ekspresi puisi.Penyair sebagai “pencipta” mengendalikan spesies atau tubuh ciptaannya berhubungan dengan gen yang terpaut di dalam tubuh, serta interaksinya dengan faktor eksternal (lingkungan). Salah satu cara saya merayakan puisi dengan tinjauan biologis yang tak lazim. Saya mengumpamakan puisi sebagai tubuh, spesies yang dilahirkan ke tengah belantara sastra dan mencoba hidup, berkompetisi serta melanjutkan kehidupannya.

Puisi-puisi Avan Fathurrahman merupakan sebentuk puisi yang mengekspresikan tentang rindu, hening kenangan, dan luka di antara keputus-asaan. Kepedihan lirih namun tak sampai merintih. Ia begitu sabar membiakkan cinta dari pengalaman empiris yang mempengaruhi pada pengucapan puisinya. Tubuh puisi sebagai hasil interaksi antara faktor internal yang dipengaruhi oleh lingkungan. Ia begitu rindu dengan akar tradisi yang terus tumbuh. Suatu pertumbuhan peradaban ke bentuk yang paling kondusif. Mantenan, kleningan,  sinden, kodon (kode genetik) yang menandakan tradisi lokal terus menerus mengalami penyusutan. Bila resepsi pernikahan lebih sering dihadirkan orkes dangdut, dan semacamnya. Tradisi yang kian menua seumpama langit senja yang akan segera tenggelam. Gundah yang dikodekan dengan kehadiran sepasang gagak dengan suara serak. Kodon gagak mengkodekan kematian. Bagi masyarakat Madura, erangan suara gagak lebih dekat kepada kabar buruk, kabar kematian. Menikmati puisi-puisi Avan Fathurrahman, seperti menikmati suasana melankolis dan romantis, meski kadang terasa nyeri dan pedih sebagaimana dapat dinikmati pada puisi berikut:

LANGIT MERAH SAGA

Ini adalah bagian dari harap yang rumpang/ Tanggal pernikahan, daftar undangan, sinden dan klenengan/ Menjadi menu percakapan kita/ Dulu// Tak ada yang bisa memisahkan janji kita bukan?//  Sepasang gagak hitam membelah langit merah saga/ Suaranya Serak.// Membawa kabar luka dari seberang./ Air mata meruah mengiring senja./ Lelehannya merobek hati// Kau,/ Seperti Roro Jonggrang yang hilang ditelan malam// Aku,/ Menggenapkan bisu dalam kebingungan yang legam// Aku bukan Qois yang harus mendekap pedih melepas Layla/ Aku bukan Yusuf yang sanggup menanggung/ perihnya perasaan antara cinta dan dosa./ Aku selalu tak cukup punya waktu,/ menyembuhkan luka-luka.// (halaman, 5)

Kerinduan Avan karena kehilangan tersebut tidak untuk disesali, tetapi dijadikan sandaran sambil menunggu perubahan. Kelak, ada ruang yang merangkul kerinduan. Ruang yang merealisasikan rindu sebagai realitas yang nyata sebagai mana pada puisi berikut:

PADA RINDUMU AKU REBAH

Rumput-rumput, yang tumbuh dan merambat/ Abadi dalam ingatan/ Di sepanjangan tanjakan bhuras Cinta melesat. Deras/Menuju segala mungkin, tentang kita// Ada jarak yang menjeda/ Dari rindu dan cinta/ Ada harap yang merekat/ Pada ingatan yang tetap lekat//  Kelak,/ Saat ruang merangkum jarak/ Aku ingin rebah pada rindumu/ Menikmati teduh mata dan pualam pipimu.// (halaman 4)

Sementara M. Ridwan dengan lantang kembali mengais benda-benda dan kearifan lokal yang kini tenggelam hiruk pikuk perubahan. Ketika sejarah lokal dikalahkan oleh kegaduhan sosial media yang setiap hari menaburkan kisah baru, pahlawan baru, dan kecemasan baru. Genetika lokalitas yang berserak dengan persoalan kekinian disusun kembali menjadi tubuh untuk menemukan ekspresinya yang paling aktual dan adaptif. M. Ridwan dalam beberapa puisinya memiliki intensitas terhadap kearifan budaya lokal. Perhatian yang kerap membuatnya kecewa, karena lokalitas itu kian menjauh. Gen lokalitas kian teralineasi oleh sebaran budaya kekinian lewat media sosial, sehingga sesekali dengan lantang meneriakkannya. Ada kesal tapi tak mampu dibendung saat sisa kekayaan tradisi didokumentasi oleh orang luar (helen bovier), seakan menegaskan budaya lokal kian menjauh dan melenyap. Kegundahan yang dapat dirasakan dalam potongan larik berikut.

... #helenabouvier
sampai datang perempuan penyuluh kata, perekam gerak, pencatat bunyi rancak, penikmat detak musik dari gugusan tanah-tanah tandus dan jalanan berbatu padahal ia menyimpan jarak panjang, terbentang dari prancis -  madura - indonesiabendentang, sambil sesekali memutar lagu-lagu lebur yang kini masyhur di negeri orang diam-diam hilang dari jarak pandang di negeri sendiri (Hikayat Siding Margo, halaman11-12)

Rasa gundah mengenai keberadaan tradisi budaya lokal mewarnai sebagian besar puisi-puisi M. Ridwan. Sebuah upaya untuk memperpanjang nafas dan ingatan terhadap budaya lokal. Kegelisahan ini akan terus mengalir dalam alir genetik perpuisian hingga kelak menemukan bentuknya yang paling adaptif. Serta tidak tertutup kemungkinan apa yang digundahkan telah berganti dalam bentuk yang lain.

Puisi-puisi M. Ridwan sangat menarik terutama puisi-puisi yang menggunakan genetika lokalitas dan dirangkai membentuk kode makna yang meneriakkan kehilangan, pudarnya tradisi di tengah masyarakatnya. Teriakan-teriakan menggugat budaya tani yang kian tergerus seiring perkembangan pariwisata sebagai ranah pengembangan ekonomi kreatif.

Hikayat Sampan Kecil, Aroma Laut, Aroma Perempuanku, Riwayat Sunyi, Segumpal Hati Sebilah Belati, merupakan puisi-puisi M. Ridwan yang berkisah pedih, sunyi, dan rindu. Kepedihan terhadap terancamnya budaya tani dan kuliner. Kepedihan yang dikodekan dengan kehadiran alat pertanian dan alat dapur. Barisan kode genetik yang mengekspresikan kegundahan terhadap keberadaan dua budaya tersebut yang terus terdesak oleh teknologi dan produk instan. Menikmati puisi-puisi M. Ridwan peri hal perempuan tak semenarik kode-kode yang dibangun dalam puisi protesnya terhadap guncangan budaya tani dan kuliner.

Mody Auzora, Ia menyemai kembali genetika lokalitas sebagai simbol dan memberikannya makna yang lain. Ada semacam upaya untuk menyilangkan genetika lokal dengan persoalan-persoalan kekinian. Hibrida yang mencoba menemukan bentuk paling adaptif. Upaya hibrida yang banyak dilakukan penyair untuk menemukan hal-hal baru dari yang sudah ada.Ada sebuah upaya dari Moldy Auzora untuk mengenang tempat, kerafian lokal yang mulai terkontaminasi. Kearifan lokal yang bersimbiosis atau pun yang terinfeksi oleh gen budaya asing. Kenangandan kegelisahan Moldy dapat dirasakan pada puisi berikut:

SUMBER TOMBET

Dulu, kami lewati senja bersama airmu/ Deras mengalir ke taman kalbu/ Bermain petak umpet dengan lugu/ Tak pernah khawatir akan peta masa depanku// Jingga yang tenggelam ditelan oleh malam/ Berkhias kunang-kunang yang temaram/ Menjadi saksi bisu kisah yang tersulam/ Bahwa hanya malam yang kelam/ Tapi tidak dengan keindahan bunga-bunga jiwa yang senantiasa tersiram// Kini, air cintamu mulai surut/ Membuat banyak hati merasa takut/ Bahkan tak jarang harus ribut-ribut/ Demi hijaunya rumput-rumput// (halaman 25)
 Sumenep, 7 juli 2018

Sufyan Abi Zet, dengan puisi pagarnya mengingatkan pada teks kitab-kitab pengetahuan islam klasik dan belakangan dihadirkan kembali oleh Sofyan Rh Zaid. Ia berbicara tentang sunyi, tradisi, dan solawat. Inilah warna genetika syair dalam beberapa kitab klasik di pesantren yang mempertimbangkan irama dan suara musikal pada akhir baris, juga penggunaan pagar yang membatasi dua sisi pada setiap baris. Genetika yang tidak banyak berubah kecuali pada penggunaan bahasa Indonesia. Hal ini lebih menarik apabila Sufyan Abi Zet lebih jauh melakukan eksplorasikepada esensi sastra islam klasik bukan kepada bentuk fisik. Secara genetik, upaya-upaya membangun perumpamaan-perumpamaan mengorangkan (personifikasi) tetumbuhan menjadi pijakan untuk mengembangkan genetika puisinya, pada puisi berikut;

SELAWAT ILALANG, 2
akulah ilalang # di tanah gersang
di celah bebatuan # dibesarkan getir peradaban
aku tak menyerah # walau hujan bersimbah
panas mendidihkan darah # : padaNya aku merebah.
Batuputih, 2018
(Halaman 35)

Yayan Koeneink, satu-satunya perempuan dalam antologi ini dan menyampaikan persoalan lokalitas atau suasana rural. Ada dua puisi karya Yayan dalam buku ini, dan keduanya berkisah tentang suasana perdesaan. Sebuah realitas yang dihadapi Yayan, dan diangkatnya ke dalam tubuh puisi. Genetika puisinya tidak begitu rumit untuk memahami kodon / kode yang disimbolkannya. Sawah, ladang, ranting, jalan setapak, dan layang-layang yang dimaksud tak berbeda jauh dengan makna tekstualnya.

KEMARAU BULAN JULI
Senja itu Adik berlari menyusuri jalan setapak/ Menerobos sawah-sawah kering/ Penuh ranting dan rumput berduri/ Sesekali ia mendongak ke langit/ Memburu layang-layang/ Di deras arus mata angin/ Adikku terlihat girang Ia kembali sebagai pemenang/ Di antara segerombolan bocah/ Yang bernasib sama.(halaman 44)

Zam’sta, melakukan upaya memaknai dan melakukan aktualitas terhadap tradisi dan unsur-unsur lokalitas yang pedih. Zam’sta, melihat ritus bukan sekadar ritual namun memiliki makna akan harapan-harapan filosofis. Nilai-nilai kearifan yang dirasakan mulai pudar. Hanya cinta membuatnya merangkai kembali kepingan-kepingan budaya lokal tersebut untuk menemukan maknanya kembali. Zam’asta memilih serakan genetika lokal yang terabaikan sebagai kode yang membangun tubuh puisi. Kepingan peradaban yang berhadapan dengan perubahan-perubahan yang mengepungnya.

Tetapi, sambil menelan pedih luka lama/ Aku himpun kembali hati yang retak/ Perasaan yang terserak/  Menjadi lempengan-lempengan aksara dalam cinta.// (Sabda Menara, halaman 47)

Zam’sta begitu yakin bahwa di tempat buminya berpijak, budaya bisa tumbuh dengan baik, meresapi  sari pati tanah hidup untuk tumbuh dan berkembang, sekaligus menjalani siklus hidup yang mengalir dan berputar. Dari awal ke akhir dan kembali ke awal. Sebuah perjalanan mendaki yang mengajarinya untuk tabah dan kuat. Menuruni keangkuhan menuju lembah kesabaran. Ke gunung mencapai puncak keangkuhan dan jati diri namun perlu meneruskan turun ke laut untuk belajar menerima segala yang tumpah dalam gelombang cinta yang sedap. Simaklah ritus toron tana sebagai sebuah ikhtiar untuk berharap mengenai masa depan yang tak teraba dengan pilihan-pilihan baik yang disodorkan

Berpijaklah di bumi dan tumbuhlah/ Perjalanan kita adalah perjalanan hujan ke gunung/  Ke sungai, lalu ke laut /:Tempat segalanya kembali/ Mengakhiri perih (Toron Tana 1, halaman 48-49.

Dalam beberapa puisinya Zam’sta menghadirkan kode-kode budaya lokal, nama tempat, sapi, tradisi toron tana. Kode-kode budaya, baginya memiliki nilai-nilai luhur, namun kondisi kini nilai-nilai kearifan itu kian pudar. Zam’sta merasa perlu untuk menghadirkan kembali kode-kode lokalitas menjadi dan mencari serta menemukan makna aktualitasnya.

Pembacaan saya terhadap “ Bait-bait Rindu Bukit Burâs” tidak akan pernah tuntas, namun dari beberapa spesies puisi yang terkumpul dalam buku ini, terlihat taburan  genetika puisi yang mengkodekan kehilangan, rindu dan harapan. Kode yang bertabur ditengah ringkihnya budaya lokal menghadapi serbuan media sosial yang akseleratif, masif, dan kehilangan kesabaran untuk bisa saling memahami. Buku yang secara simbolis menandai pergeseran atau terjadinya dinamika peradaban Madura yang tak lagi eksotis tepi tengah gemuruh menemukan bentuk yang paling adaptif.

Dari kode-kode genetika yang memenuhi tubuh puisi pada buku puisi “Bait-bait Rindu Bukit Burâs” menandakan upaya dari para penyair untuk memaknai kembali budaya lokal sebagai kode yang dipergunakannya dalam membangun tubuh puisi. Sebuah upaya mendokumentasi terhadap kearifan lokal yang kian tersisih, dengan berbagai variasi estetika yang menarik.

Sumenep, 21 Agustus 2018
Hidayat Raharja, guru biologi penyuka puisi.

Rabu, April 24, 2019

Puisi Biologi


Puisi Biologi; Hibrid Sastra dan Biologi
Oleh:
Hidayat Raharja*

            Chemical Alphabet adalah eksperimen Christian Bök’s menyalin puisi dalam kode DNA dan diimplementasikan ke dalam sel bakteri. Sebuah eksperimen gila menanamkan puisi  ke dalam DNA, dan rekayasa genetika. Sebuah keberanian dari seorang penyair ekperimental kanada yang  berkolaborasi dengan pakar genetika atau untuk mendapatkan estetika baru dalam dunia seni (puisi) juga dalam dunia sains (ekpresi sel bakteri).

Biologi sebagai ilmu pengetahuan alam, mempelajari mengenai makhluk hidup dan kehidupannya. Suatu materi yang kaya dengan berbagai konsep dan persoalan menarik untuk dikaji dan didalami. Materi yang berdiri-sendiri namun sebagai bagian dari sebuah pengetahuan, ia berhubungan dengan pengetahuan lain. Biologi akan selalu berhubungan dengan fisika, kimia juga dalam hubungannya dengan teknologi melahirkan cabang bioteknologi.
            Perkembangan dunia ilmu telah memberikan berbagai kemungkinan bagi manusia dengan nalar, etika, dan estetika untuk mencari kekerabatan, dan keterhubungan di antara mereka. Dalam tataran yang kian tinggi, antar ranah tersebut saling terhubung, dan kadang saling bersinergi memberikan pemaknaan atas keberadaan dan hidup yang beragam.
            Pertautan antara ilmu genetika, pertumbuhan ekonomi, dan informasi telah melahirkan teori baru mengenai perkembangan informasi. Bagaimana informasi tumbuh? Sebuah hasil penelitian César Hidalgo dari Massachusetts Institute of Technology’s Media Laboratory. César menyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi dipengaruhi oleh pertumbuhan informasi. Ketika informasi dalam ruang publik dihubungkan dengan rekaman informasi dalam DNA  dengan berbagai kode informasi yang harus diterjemahkan sesuatu yang jarang dibicarakan apalagi dihubungkan antara DNA, informasi  dan perkembangan ekonomi.
Biologi dan dunia puisi. Hubungan yang dianggap tidak lumrah, dan kontraversial. Namun tidak banyak yang memahami bahwa di beberapa kitab islam klasik dunia sains dituliskan dalam bentuk syair sehingga bisa dilagukan saat membacanya. Model pembelajaran yang memudahkan peserta didik untuk mudah diingat dan memahami konsep yang dipelajari. Beberapa lembaga pendidikan di negara maju puisi dijadikan sebagai media belajar ilmu pengetahuan alam. Bagaimana anak-anak memahami insekta selain dengan melihat obyek, juga disusun ciri morfologisnya secara puitis sehingga menarik dan mudah dipahami.
Konsep-konsep biologi bukan hanya sekedar teks yang berdiri sendiri, tetapi dapat saling berinteraksi membangun sebuah konteks yang bukan hanya mudah dipahami tetapi juga indah karena ada pertimbangan etika dan estetika yang akan menarik bagi pembaca.  Upaya- upaya untuk untuk menyederhanakan konsep –konsep biologi menjadi lebih ringkas (pendek) tanpa harus kehilangan makna konseptualnya.
Puisi biologi adalah upaya penjelajahan untuk membangun sebuah konsep biologi dengan mempertimbangkan unsur-unsur puitika seperti rima, dan konstruksi kalimat yang mempertimbangkan esteika. Sebuah teks yang mencoba menyederhanakan konsep yang rumit menjadi lebih sederhana, serta mudah untuk dipahami. Puisi-puisi yang berbicara mengenai konsep biologi seperti tumbuh kembang, metabolisme, genetika, dan semacamnya secara puitik tanpa kehilangan makna leksikal secara biologis.
Pertumbuhan dan perkembvangan yang dijelaskan secara berlembar-lembar halaman, nyatanya bisa dijadikan sebuah puisi ringkas yang sarat makna filosofis.
            Tumbuh dan Berkembang
Aku tumbuh menuju matahari
dan kedalaman bumi

Aku membesar memenuhi
Sisi ruang dan waktu

Baris kalimat tumbuh menuju matahari, merupakan sebuah proses tumbuh pada batang yang selalu menuju ke arah datangnya cahaya matahari. Arah pertumbuhan yang bisa dijelaskan secara ilmiah karena auksin yang terkena cahaya mengalami kerusakan sehingga bagian batang yang terkena cahaya menjadi terhambat sedangkan bagian yang tak terkena matahari pertumbuhan sel lebih cepat. Maka, dari pengaruh internal – hormon auksin pembengkokan menuju arah matahari bisa dijelaskan.
Tumbuh menuju kedalaman bumi, adalah pertumbuhan akar menuju pusat gravitasi. Pertumbuhan yang dipengaruhi oleh hormon auksin yang ada pada titik tumbuh sehingga terjadi pertumbuhan memanjang menuju kedalaman bumi. Gerak tumbuh akar menuju ke sumber air dan makanan. Sebuah gerak tumbuh yang disebabkan pula pembelahan sel-sel meristem di ujung akar.
Konsep-konsep biologi dalam puisi, merupakan  upaya untuk membangun estetika tanpa harus kehilangan makna. Suatu estetika  yang memperhatikan rima pada akhir larik sehingga terkesan bunyi musikal, dan menyederhanakan kalimat panjang menjadi lebih ringkas.
Pada puisi glikolisis, misalnya, merupakan sebuah baris yang memperpendek kalimat lebih ringkas tanpa kehilangan amanat yang disampaikan dalam proses glikolisis secara keilmuan, seperti puisi berikut:

Gikolisis
Dari glukosa
Jadi asam piruvat
Dua atepe
Puisi ini menjelaskan mengenai proses glikolisis yang mengubah molekul glukosa menjadi molekul asam piruvat. Perubahan yang disertai dengan terbentuknya 2 molekul Adenosin Triphosphat (ATP). Suatu “puisi” yang mengalihkan konsep glikolisis ke dalam bentuk puisi tiga baris. Permainan bentuk guna menyederhanakan maksud, dan makna sains menjadi lebih ringkas, dan mudah dipahami.
Di Indonesia terutama di lembaga pendidikan umum tak banyak yang memanfaatkan puisi sebagai media untuk memberikan pemahaman matematika, fisika, kimia dan semacamnya. Dalam hitungan jari, di antaranya ibu Das Salirawati telah memanfaatkan puisi untuk  memberikan penguatan terhadap konsep kimia yang dipelajari. Apa yang dilakukan Das Salirawati dalam menyederhanakan konsep Katalis dapat dibaca pada kutipan berikut:
                        Andai …
Hadir katalis dalam asmara jiwaku
Pastikan kini dia telah jadi kekasihku
Tanpa harus keluarkan energi tuk merayu
(dikutip dari Buku berjudul “Belajar Kimia secara Menarik oleh Das Salirawati, dkk. Penerbit Grasindo, 2007)
Puisi yang merekam peran katalis, senyawa yang dapat mempercepat reaksi kimia ke dalam bentuk puisi berirama. Puisi yang didekatkan kepada hubungan kekasih dua remaja yang tengah jatuh cinta. Maka, bahasa sains yang kaku beralih menjadi bahasa remaja yang kadang terasa melankolis dan jenaka.  Sebagaimana fungsi katalis mempercepat dan menurun dan energi aktivasi. Maka katalis percintaan itu akan memepermudah untuk menyatu tanpa harus kehilngan banyak energi untuk merayu. Konsep kimia yang rumit menjadi sederhana. Konsep yang sulit dipahami menjadi lebih mudah, sehingga konsep yang abstrak menjadi konkret.
Beberapa puisi biologi dapat ditemukan di Biologycorner.com. Teks yang menegaskan bahwa puisi sebagai ilmu dapat menjadi media untuk menyampaikan konsep-sains. Puisi yang memadukan estetika tanpa melupakan konsep keilmuan yang ingin disampaikan.  Tengsoe Tjahjono, menjelaskan, bahwa” puisi bisa menjadi sublimatas terhadap kompleksitas peristiwa. Puisi bisa merangkum persoalan yang banyak menyita berlembar halaman buku ketika dituliskan menjadi lebih singkat dan padat tanpa harus kehilangan amanat atau pesan mau pun konsep yang ada dalamnya.
Pergelutan dengan konsep-konsep biologi dan kesukaan terhadap puisi yang kemudian memicu untuk melakukan hibrid antara konsep biologi dengan unsur puitika, sehingga mendapatkan varian baru puisi yang memuat konsep-konsep biologi. Sebuah puisi yang mengandung konsep biologis. Dari sisi puitika terdapat nilai-nilai puitik, rima, diksi, dan makna baik secara konotatuif atau pun ssecara denotatif.
Persilangan yang tidak mudah, sebab adakalanya  puisi dibebani oleh makna biologis yang menghilangkan kekuatan puitikanya. Di sisi lain, jika terlalu condong kepada puitikanya, maka esensi biologinya bisa tak teraih. Maka, peran kreativitas dab keberanian untuk mencoba dan melakukan editing secara berulang akan didapatkan puisi biologis yang diinginkan.
Hibridisasi adakalanya menghasilkan varitas baru yang unggul, elok dan tahan terhadap berbagai gangguan. Namun, kala lain mendapatkan keturunan yang jelek dan mandul. Juga dalam hibrid puisi dengan biologi, sangat terbuka kemungkinan dihasilkan sebuah varian yang terasa janggal dan kehilangan usnsur puitik serta juga kehilangan makna konseptual secara biologis. Tugas kritik untuk meluruskan situasi dan kondisi yang melengkapi kehadiran hibrid.
Kolaborasi antara  biologi dengan para ilmuwan, dan seniman mempelopori penemuan-penemuan baru dalam bidang biologi merupakan perkembangan yang telah lama berlangsung semenjak seni rupa menjadi bagian penunjang untuk memperjelas konsep-konsep biologi atau sains lainnya. Kolaborasi ini terasa kian kokoh, dan erat bersamaan dengan perkembangan rekayasa genetika dalam bidang biologi. Temuan yang merangsang kreativitas para  seniman (artis) untuk melakukan kolaborasi dengan pakar genetika bisa menghasilkan sebuah karya monomental yang dikenal dengan karya “Bio Art”. Sebuah karya yang menggabungkan antara ilmu biologi dengan bidang seni, sehingga menjadi sebuah varian yang bernilai estetis dan saintis. 
Christian Bök’s penyair Eksperimental dari Kanada dalam karyanya Xenotext; “Chemical Alphabet” digunakan untuk menerjemahkan puisi ke dalam untaiaan DNA untuk diimplantasikan ke dalam genom bakteri (How art and science fuse in bio art, www.cnn.com, 6 Februari 2017).
When translate into  a gene and then integrated into the cell, the poetry constitutes a set of instructions, all of which cause the organism  to manufacture a viable, benign protein in response. Ketika diterjemahkan ke dalam gen kemudian disatukan di dalam sel, puisi diubah menjadi sebuah intruksi yang membentuk sebuah perintah, dan direspon dengan protein yang baik.
Writes Boks:” I am, in effect, engineering a life form so that it becomes not only a durable archive for storing a poem, but also an operant machine for writing a poem- one that  can persist on the planet until the sun itself explodes…” Percobaan Xenotext 4 April 2011. Bok mengumumkan terobosan  signifikan dalam proyek 9 tahunnya untuk merancang bentuk kehidupan sehingga menjadi arsip arsip yang tidak tahan lama untuk menyimpan sebuah puisi, tapi juga mesin operan untuk menulis sebuah puisi
Terapan bioteknologi dengan sains. Hal semacam ini akan terus tumbuh dan berkembang seiring dengan perkembangan teknologi genetika yang akan menyertai kehidupan manusia. Sebuah puisi biologi yang memadukan antara rekayasa genetika dengan estetika puisi terhadap ekspresi makhluk hidup (bakteri)
Hidayat Raharja, seorang guru biologi, dan penyuka puisi . Buku puisinya “Kangean”, 2016.Saat ini mengajar di SMA Negeri 1 Sumenep.

Minggu, Juli 05, 2015

Dalam Buku



Karya: Hidayat Raharja

Dalam buku hanya ada 26 huruf
saling bergandeng tangan
membangun pemahaman. 

Huruf menjadi kata-kata 
menjelma cerita
berbaris tak habis-habis.

Cerita-cerita bergerak
dalam kepala
mengisi dunia

Dunia bergerak ke dalam buku
mengurai cerita
dari jalinan kata-kata

26 huruf  bergandeng tangan.

                                                2015

Bertemu Ayah


Karya: Hidayat Raharja

Aku hanya ingin kau sehat
di usiamu jelang seabad
kerutan kulit berlipat
perjalanan waktu yang berat

Putih rambut adalah buah waktu
yang pernah ayah tunggu sambil menimangku
bercerita tentang fabel dan burung hantu
aku tidur kau pangku

langkahmu teratur perlahan
jejak kenangan takkuat menahan badan
bersama kisah-kisah belia
laki muda perkasa telah merenta

tangan telunjukmu mengalirkan sungai
Arah jalan dari mana berawal
dan kemana mengekal

                                                            2015