Translate

Minggu, Juni 09, 2019

Puisi; Tubuh yang Bertabur Kode Genetik


Puisi; Tubuh yang Bertabur Kode Genetik
 oleh: Hidayat Raharja *

Puisi sebagai tubuh merupakan setumpuk organ-organ yang saling berinteraksi untuk merepresentasikan respon terhadap lingkungan. Organ-organ yang tersusun dari jaringan kata-kata sebagai rangkaian pesan terhadap lawan komunikasi atau lingkungannya. Maka setiap sel yang menyusun tubuh, setiap kata yang menyusun bangun tubuh puisi bukan tak ada makna, melainkan sebuah sistem yang mengkodekan atau menandai sebuah persoalan. Tubuh yang peka terhadap setiap perubahan di luarnya, serta memberikan respon sebagai aktivitas menjaga keseimbangan (homeostasis) dan keberlanjutannya (sustainabilitas). Pada posisi semacam ini maka, penyair menjadi pencipta yang membangun tubuh puisi. Atau dalam bahasa Affandi, penyair (seniman) melakukan peniruan-peniruan dari alam sekitar untuk menjadi sesuatu yang baru. Karena sesungguhnya tidak ada suatu penciptaan yang terlepas dari gesekan, interaksi, dan konjugasi dengan faktor-faktor di lingkungannya.

Hubungan puisi sebagai tubuh, dan penyair sebagai pencipta merupakan  pertarungan untuk saling menaklukkan. Penyair menaklukkan perisitiwa keseharian sebagai bahan baku kata untuk membangun tubuh puisi. Sementara puisi menaklukkan penyair untuk mengubah sebuah subjektivitas peristiwa menjadi objektivitas yang bersifat universal. Sebuah pertarungan yang membutuhkan mentalitas, kemampuan intelektual, dan kontemplasi sehingga bahasa yang terbuka menjadi tertutup dan memberikan peluang makna yang lebih variatif. Kreativitas untuk menaklukkan peristiwa ke dalam puisi merupakan pertarungan-pertarungan personal untuk memungut bahasa sebagai identitas pengucapan yang segar dan mendebarkan.

Dalam tubuh puisi, organ-organ saling berinteraksi menangkap persoalan-persoalan di sekitar sebagai stimulan yang direspon dengan bahasa sebagai komunikasi kepada di luar dirinya. Komunikasi yang berbeda dengan kabar berita yang menyampaikan informasi secara langsung. Tubuh puisi, merupakan bahasa yang terbungkus sehingga memberikan berbagai pintu untuk memasuki, memahami dan memberikan respon kembali. Bahasa yang memberi kemungkinan untuk membuat tafsir dan menjadikan puisi sebagai tubuh yang rela dijamah oleh setiap penikmatnya.

Di sisi lain, tubuh puisi merupakan sebuah cermin perkembangan peradaban saat penyair melahirkannya. Tubuh yang dipenuhi aksesori bahasa dan peristiwa. Bahasa yang hadir ditengah hiruk-pikuk komunikasi dengan berbagai perangkatnya, serta peristiwa yang menjadi pembangun tubuh yang tumbuh. Pilihan diksi sebagai kode genetik pembangun tubuh, tentu berhubungan dengan bahasa atau peristiwa keseharian yang hadir atau ditemui penyair. Bahasa, entah sebagai pilihan yang telah dimiliki orang lain atau pilihan yang kemudian menjadi milik (identitas) personal.

Atau secara genetis tubuh puisi sebagai eskpresi dari materi genetik. Suatu sifat unik yang hadir karena adanya rekombinasi genetik antara pengalaman eksternal yang berangkai dengan pengalaman internal atau batiniah. Jika sama dengan ekspresi yang telah ada tak lain merupakan sebuah pewarisan genetik yang berlangsung tanpa adanya rekombinasi. Ini terjadi pada peristiwa pembelahan secara vegetatif, atau pada peristiwa cangkok atau kloning terhadap kode genetik. Kemungkinan-kemungkinan yang berkelindan di antara dunia kreatif. Bahwa genetika dalam tubuh puisi tidak tunggal tetapi varian-varian itu muncul dari hasil silang atau hibrid yang terjadi baik secara alamiah mau pun dengan rekayasa, yang didasarkan pada perkembangan sains.

Membaca puisi-puisi yang terangkum dalam antologi “ Bait-bait Rindu Bukit Burâs” kumpulan puisi dari Avan Fathurrahman, M. Ridwan, Moldy Auzora, Sufyan Abi Zet, Yayan Koeneink, Zam’sta seperti melihat sebuah eksprei genetik yang berbeda di antara mereka. Genetika sebagai bahan internal yang mempengaruhi terhadap puisi. Telaah ini tak lain merupakan salah satu cara saya memasuki tubuh dan ekspresi puisi dengan melihat faktor genetik yang membangun dan mengekspresikan tubuh puisi. Tubuh yang mengingatkan terhadap puisi sebagai ciptaan, dikendalikan oleh faktor genetik yang mempengaruhi ekspresi puisi.Penyair sebagai “pencipta” mengendalikan spesies atau tubuh ciptaannya berhubungan dengan gen yang terpaut di dalam tubuh, serta interaksinya dengan faktor eksternal (lingkungan). Salah satu cara saya merayakan puisi dengan tinjauan biologis yang tak lazim. Saya mengumpamakan puisi sebagai tubuh, spesies yang dilahirkan ke tengah belantara sastra dan mencoba hidup, berkompetisi serta melanjutkan kehidupannya.

Puisi-puisi Avan Fathurrahman merupakan sebentuk puisi yang mengekspresikan tentang rindu, hening kenangan, dan luka di antara keputus-asaan. Kepedihan lirih namun tak sampai merintih. Ia begitu sabar membiakkan cinta dari pengalaman empiris yang mempengaruhi pada pengucapan puisinya. Tubuh puisi sebagai hasil interaksi antara faktor internal yang dipengaruhi oleh lingkungan. Ia begitu rindu dengan akar tradisi yang terus tumbuh. Suatu pertumbuhan peradaban ke bentuk yang paling kondusif. Mantenan, kleningan,  sinden, kodon (kode genetik) yang menandakan tradisi lokal terus menerus mengalami penyusutan. Bila resepsi pernikahan lebih sering dihadirkan orkes dangdut, dan semacamnya. Tradisi yang kian menua seumpama langit senja yang akan segera tenggelam. Gundah yang dikodekan dengan kehadiran sepasang gagak dengan suara serak. Kodon gagak mengkodekan kematian. Bagi masyarakat Madura, erangan suara gagak lebih dekat kepada kabar buruk, kabar kematian. Menikmati puisi-puisi Avan Fathurrahman, seperti menikmati suasana melankolis dan romantis, meski kadang terasa nyeri dan pedih sebagaimana dapat dinikmati pada puisi berikut:

LANGIT MERAH SAGA

Ini adalah bagian dari harap yang rumpang/ Tanggal pernikahan, daftar undangan, sinden dan klenengan/ Menjadi menu percakapan kita/ Dulu// Tak ada yang bisa memisahkan janji kita bukan?//  Sepasang gagak hitam membelah langit merah saga/ Suaranya Serak.// Membawa kabar luka dari seberang./ Air mata meruah mengiring senja./ Lelehannya merobek hati// Kau,/ Seperti Roro Jonggrang yang hilang ditelan malam// Aku,/ Menggenapkan bisu dalam kebingungan yang legam// Aku bukan Qois yang harus mendekap pedih melepas Layla/ Aku bukan Yusuf yang sanggup menanggung/ perihnya perasaan antara cinta dan dosa./ Aku selalu tak cukup punya waktu,/ menyembuhkan luka-luka.// (halaman, 5)

Kerinduan Avan karena kehilangan tersebut tidak untuk disesali, tetapi dijadikan sandaran sambil menunggu perubahan. Kelak, ada ruang yang merangkul kerinduan. Ruang yang merealisasikan rindu sebagai realitas yang nyata sebagai mana pada puisi berikut:

PADA RINDUMU AKU REBAH

Rumput-rumput, yang tumbuh dan merambat/ Abadi dalam ingatan/ Di sepanjangan tanjakan bhuras Cinta melesat. Deras/Menuju segala mungkin, tentang kita// Ada jarak yang menjeda/ Dari rindu dan cinta/ Ada harap yang merekat/ Pada ingatan yang tetap lekat//  Kelak,/ Saat ruang merangkum jarak/ Aku ingin rebah pada rindumu/ Menikmati teduh mata dan pualam pipimu.// (halaman 4)

Sementara M. Ridwan dengan lantang kembali mengais benda-benda dan kearifan lokal yang kini tenggelam hiruk pikuk perubahan. Ketika sejarah lokal dikalahkan oleh kegaduhan sosial media yang setiap hari menaburkan kisah baru, pahlawan baru, dan kecemasan baru. Genetika lokalitas yang berserak dengan persoalan kekinian disusun kembali menjadi tubuh untuk menemukan ekspresinya yang paling aktual dan adaptif. M. Ridwan dalam beberapa puisinya memiliki intensitas terhadap kearifan budaya lokal. Perhatian yang kerap membuatnya kecewa, karena lokalitas itu kian menjauh. Gen lokalitas kian teralineasi oleh sebaran budaya kekinian lewat media sosial, sehingga sesekali dengan lantang meneriakkannya. Ada kesal tapi tak mampu dibendung saat sisa kekayaan tradisi didokumentasi oleh orang luar (helen bovier), seakan menegaskan budaya lokal kian menjauh dan melenyap. Kegundahan yang dapat dirasakan dalam potongan larik berikut.

... #helenabouvier
sampai datang perempuan penyuluh kata, perekam gerak, pencatat bunyi rancak, penikmat detak musik dari gugusan tanah-tanah tandus dan jalanan berbatu padahal ia menyimpan jarak panjang, terbentang dari prancis -  madura - indonesiabendentang, sambil sesekali memutar lagu-lagu lebur yang kini masyhur di negeri orang diam-diam hilang dari jarak pandang di negeri sendiri (Hikayat Siding Margo, halaman11-12)

Rasa gundah mengenai keberadaan tradisi budaya lokal mewarnai sebagian besar puisi-puisi M. Ridwan. Sebuah upaya untuk memperpanjang nafas dan ingatan terhadap budaya lokal. Kegelisahan ini akan terus mengalir dalam alir genetik perpuisian hingga kelak menemukan bentuknya yang paling adaptif. Serta tidak tertutup kemungkinan apa yang digundahkan telah berganti dalam bentuk yang lain.

Puisi-puisi M. Ridwan sangat menarik terutama puisi-puisi yang menggunakan genetika lokalitas dan dirangkai membentuk kode makna yang meneriakkan kehilangan, pudarnya tradisi di tengah masyarakatnya. Teriakan-teriakan menggugat budaya tani yang kian tergerus seiring perkembangan pariwisata sebagai ranah pengembangan ekonomi kreatif.

Hikayat Sampan Kecil, Aroma Laut, Aroma Perempuanku, Riwayat Sunyi, Segumpal Hati Sebilah Belati, merupakan puisi-puisi M. Ridwan yang berkisah pedih, sunyi, dan rindu. Kepedihan terhadap terancamnya budaya tani dan kuliner. Kepedihan yang dikodekan dengan kehadiran alat pertanian dan alat dapur. Barisan kode genetik yang mengekspresikan kegundahan terhadap keberadaan dua budaya tersebut yang terus terdesak oleh teknologi dan produk instan. Menikmati puisi-puisi M. Ridwan peri hal perempuan tak semenarik kode-kode yang dibangun dalam puisi protesnya terhadap guncangan budaya tani dan kuliner.

Mody Auzora, Ia menyemai kembali genetika lokalitas sebagai simbol dan memberikannya makna yang lain. Ada semacam upaya untuk menyilangkan genetika lokal dengan persoalan-persoalan kekinian. Hibrida yang mencoba menemukan bentuk paling adaptif. Upaya hibrida yang banyak dilakukan penyair untuk menemukan hal-hal baru dari yang sudah ada.Ada sebuah upaya dari Moldy Auzora untuk mengenang tempat, kerafian lokal yang mulai terkontaminasi. Kearifan lokal yang bersimbiosis atau pun yang terinfeksi oleh gen budaya asing. Kenangandan kegelisahan Moldy dapat dirasakan pada puisi berikut:

SUMBER TOMBET

Dulu, kami lewati senja bersama airmu/ Deras mengalir ke taman kalbu/ Bermain petak umpet dengan lugu/ Tak pernah khawatir akan peta masa depanku// Jingga yang tenggelam ditelan oleh malam/ Berkhias kunang-kunang yang temaram/ Menjadi saksi bisu kisah yang tersulam/ Bahwa hanya malam yang kelam/ Tapi tidak dengan keindahan bunga-bunga jiwa yang senantiasa tersiram// Kini, air cintamu mulai surut/ Membuat banyak hati merasa takut/ Bahkan tak jarang harus ribut-ribut/ Demi hijaunya rumput-rumput// (halaman 25)
 Sumenep, 7 juli 2018

Sufyan Abi Zet, dengan puisi pagarnya mengingatkan pada teks kitab-kitab pengetahuan islam klasik dan belakangan dihadirkan kembali oleh Sofyan Rh Zaid. Ia berbicara tentang sunyi, tradisi, dan solawat. Inilah warna genetika syair dalam beberapa kitab klasik di pesantren yang mempertimbangkan irama dan suara musikal pada akhir baris, juga penggunaan pagar yang membatasi dua sisi pada setiap baris. Genetika yang tidak banyak berubah kecuali pada penggunaan bahasa Indonesia. Hal ini lebih menarik apabila Sufyan Abi Zet lebih jauh melakukan eksplorasikepada esensi sastra islam klasik bukan kepada bentuk fisik. Secara genetik, upaya-upaya membangun perumpamaan-perumpamaan mengorangkan (personifikasi) tetumbuhan menjadi pijakan untuk mengembangkan genetika puisinya, pada puisi berikut;

SELAWAT ILALANG, 2
akulah ilalang # di tanah gersang
di celah bebatuan # dibesarkan getir peradaban
aku tak menyerah # walau hujan bersimbah
panas mendidihkan darah # : padaNya aku merebah.
Batuputih, 2018
(Halaman 35)

Yayan Koeneink, satu-satunya perempuan dalam antologi ini dan menyampaikan persoalan lokalitas atau suasana rural. Ada dua puisi karya Yayan dalam buku ini, dan keduanya berkisah tentang suasana perdesaan. Sebuah realitas yang dihadapi Yayan, dan diangkatnya ke dalam tubuh puisi. Genetika puisinya tidak begitu rumit untuk memahami kodon / kode yang disimbolkannya. Sawah, ladang, ranting, jalan setapak, dan layang-layang yang dimaksud tak berbeda jauh dengan makna tekstualnya.

KEMARAU BULAN JULI
Senja itu Adik berlari menyusuri jalan setapak/ Menerobos sawah-sawah kering/ Penuh ranting dan rumput berduri/ Sesekali ia mendongak ke langit/ Memburu layang-layang/ Di deras arus mata angin/ Adikku terlihat girang Ia kembali sebagai pemenang/ Di antara segerombolan bocah/ Yang bernasib sama.(halaman 44)

Zam’sta, melakukan upaya memaknai dan melakukan aktualitas terhadap tradisi dan unsur-unsur lokalitas yang pedih. Zam’sta, melihat ritus bukan sekadar ritual namun memiliki makna akan harapan-harapan filosofis. Nilai-nilai kearifan yang dirasakan mulai pudar. Hanya cinta membuatnya merangkai kembali kepingan-kepingan budaya lokal tersebut untuk menemukan maknanya kembali. Zam’asta memilih serakan genetika lokal yang terabaikan sebagai kode yang membangun tubuh puisi. Kepingan peradaban yang berhadapan dengan perubahan-perubahan yang mengepungnya.

Tetapi, sambil menelan pedih luka lama/ Aku himpun kembali hati yang retak/ Perasaan yang terserak/  Menjadi lempengan-lempengan aksara dalam cinta.// (Sabda Menara, halaman 47)

Zam’sta begitu yakin bahwa di tempat buminya berpijak, budaya bisa tumbuh dengan baik, meresapi  sari pati tanah hidup untuk tumbuh dan berkembang, sekaligus menjalani siklus hidup yang mengalir dan berputar. Dari awal ke akhir dan kembali ke awal. Sebuah perjalanan mendaki yang mengajarinya untuk tabah dan kuat. Menuruni keangkuhan menuju lembah kesabaran. Ke gunung mencapai puncak keangkuhan dan jati diri namun perlu meneruskan turun ke laut untuk belajar menerima segala yang tumpah dalam gelombang cinta yang sedap. Simaklah ritus toron tana sebagai sebuah ikhtiar untuk berharap mengenai masa depan yang tak teraba dengan pilihan-pilihan baik yang disodorkan

Berpijaklah di bumi dan tumbuhlah/ Perjalanan kita adalah perjalanan hujan ke gunung/  Ke sungai, lalu ke laut /:Tempat segalanya kembali/ Mengakhiri perih (Toron Tana 1, halaman 48-49.

Dalam beberapa puisinya Zam’sta menghadirkan kode-kode budaya lokal, nama tempat, sapi, tradisi toron tana. Kode-kode budaya, baginya memiliki nilai-nilai luhur, namun kondisi kini nilai-nilai kearifan itu kian pudar. Zam’sta merasa perlu untuk menghadirkan kembali kode-kode lokalitas menjadi dan mencari serta menemukan makna aktualitasnya.

Pembacaan saya terhadap “ Bait-bait Rindu Bukit Burâs” tidak akan pernah tuntas, namun dari beberapa spesies puisi yang terkumpul dalam buku ini, terlihat taburan  genetika puisi yang mengkodekan kehilangan, rindu dan harapan. Kode yang bertabur ditengah ringkihnya budaya lokal menghadapi serbuan media sosial yang akseleratif, masif, dan kehilangan kesabaran untuk bisa saling memahami. Buku yang secara simbolis menandai pergeseran atau terjadinya dinamika peradaban Madura yang tak lagi eksotis tepi tengah gemuruh menemukan bentuk yang paling adaptif.

Dari kode-kode genetika yang memenuhi tubuh puisi pada buku puisi “Bait-bait Rindu Bukit Burâs” menandakan upaya dari para penyair untuk memaknai kembali budaya lokal sebagai kode yang dipergunakannya dalam membangun tubuh puisi. Sebuah upaya mendokumentasi terhadap kearifan lokal yang kian tersisih, dengan berbagai variasi estetika yang menarik.

Sumenep, 21 Agustus 2018
Hidayat Raharja, guru biologi penyuka puisi.