(1)
Berita apa lagi yang kau bawa
Subuh baru saja jaga
Mobil baru saja dibakar dan penangkapan Anak-anal muda
Beringas menantang petugas
Satuan polisi dengan tameng di dada
Suara kegaduhan saling dorong di pintu lembaga
Hidup kian sulit tak terduga
Menyusul tinggi kenaikan harga
Jaman ini susah
Hidup kian resah
Orang-orang dengan ualar kata
Mulut bercabang dua
Dan api di matanya membakar televisi
Menyala sepanjang detak
4 orang tewas dalam 3 tahun sengketa
Tanah perkebunan
Berapa hati telah mati, kehilangan
Rasa perikemanusiaan
Orang-orang berjubah bersitegang
Saling bermain parang
Meski bukan sebuah perang
Namunpenangkapan berlangsuang di seberang
(2)
Pagi ini ada pidato pejabat tinggi
Dengan senyum dipaksakan
Kata-kata dijejalkan
Tak ada puisi di situ
Juga jangan cari kata hatimu
Gedung persekolahan
Dan perguruan tinggi menjulang
Saling menyusul ambil pengutan uang
Baca berita pagi mendung enggan berganti
Kering dan kelaparan
Hujan dan kebanjiran
Angin dan longsoran
Birokrat dan politikus
Main akrobat
Di malam pekat
:kursi, uang, dan perempuan
Tak henti disikat
Bacalah, ajak kitab suci
Kiloan meter grafiti di negeri ini
Kiloan meter kaligrafi
Menggurat munajat dan istighosa berkali-kali
(3)
Kenapa selalu tumbuh ragu
Saat kita sama-sama bertemu
Karena sangsi selalu tertanam
Saat kita mulai perjanjian
Kenapa selalu kau tuduh aku menyimpang
Pada hal kau tak paham apa yang kuinginkan
Karena kau selalu melihat yang dipampang
Pada hal kau tak menebak ada apa dibelakang
Kenapa kau selalu kecut mendengar kejujuran
Aku pun tak pernah memaksakan kau ikutan
Kau selalu menyangkaku kekirian
Sementara kau pun, kanan bukan
Mengapa kau curiga aku pemberontak
Pada hal sejak dulu kataku biasa kau tetak
Dan aku selalu rindu mengataimu
Sebab kau tak tahu bahasa kalbu
Jumat, Juli 11, 2008
PEREMPATAN
: toko banjir
Jalan ke utara
Arah batuampar
Pebukitan kuna
Letak kubur para aulia
Disitu ziarah bermula
Ke asta yusup
Ke pulau talango ziarahnya
Ke timur jalan kecil ke bukit babaran
Tempat tembuni trunajaya dibenam
Ke puncak lagi, kubur sitihinggil
Menatap kota yang gigil
Kenangan tersisa di taman yang selalu dibangun
Patung laki bekuda sudah tak dijumpa
Urat-urat kota saling bersilangan
Gedung-gedung dirubuhkan
Tempat belanja ditumbuhkan
Mulut selalu dikenalkan kuat makan
Penjual makan dan minum
Meramai saat sore terbenam
Bersma riuh masjid baca pujian
Dan panggilan azan
Ke barat,
Sungai membelah dada kota
Tebing kian curam
Securam duga bersarang dalam sangka
Di bibir sungai,
Hijau daun waru tak tersisa
Kota kecil yang sepi
Hari-hari terus berganti
Di terminal jalannya berlubang-lubang
Bis antar kota menunggu penumpang 10 menit saja
Tak ada yang berkesan di kepala
Hanya warna-warna batik yang menggurat tegas
Disini bermula dan bergegas
Orang-orang berangkat
Ke berbagai kota:
Besi tua, penarik beca, atau
Ke negara tetangga, meski tanpa paspor
Sebagai imigran gelap juga
Tak terlupa jika kamis malam tiba
Menara-menara menyanyikan tartil, pujian dan shalawatan
Mengekalkan kota yang tentram
Hanya sesekali saat gelombang pasang
Atau saat purnama datang di awal bulan atau saat purnama datang
; banjir bertandang
Serupa kerusuhan yang tiba-tiba meruntuhkan kota
Lalai para pemegang kuasa.
Jalan ke utara
Arah batuampar
Pebukitan kuna
Letak kubur para aulia
Disitu ziarah bermula
Ke asta yusup
Ke pulau talango ziarahnya
Ke timur jalan kecil ke bukit babaran
Tempat tembuni trunajaya dibenam
Ke puncak lagi, kubur sitihinggil
Menatap kota yang gigil
Kenangan tersisa di taman yang selalu dibangun
Patung laki bekuda sudah tak dijumpa
Urat-urat kota saling bersilangan
Gedung-gedung dirubuhkan
Tempat belanja ditumbuhkan
Mulut selalu dikenalkan kuat makan
Penjual makan dan minum
Meramai saat sore terbenam
Bersma riuh masjid baca pujian
Dan panggilan azan
Ke barat,
Sungai membelah dada kota
Tebing kian curam
Securam duga bersarang dalam sangka
Di bibir sungai,
Hijau daun waru tak tersisa
Kota kecil yang sepi
Hari-hari terus berganti
Di terminal jalannya berlubang-lubang
Bis antar kota menunggu penumpang 10 menit saja
Tak ada yang berkesan di kepala
Hanya warna-warna batik yang menggurat tegas
Disini bermula dan bergegas
Orang-orang berangkat
Ke berbagai kota:
Besi tua, penarik beca, atau
Ke negara tetangga, meski tanpa paspor
Sebagai imigran gelap juga
Tak terlupa jika kamis malam tiba
Menara-menara menyanyikan tartil, pujian dan shalawatan
Mengekalkan kota yang tentram
Hanya sesekali saat gelombang pasang
Atau saat purnama datang di awal bulan atau saat purnama datang
; banjir bertandang
Serupa kerusuhan yang tiba-tiba meruntuhkan kota
Lalai para pemegang kuasa.
PERTIGAAN
:junok
Masjid di sudut jalan
Menggandeng sungai ke bujur timur
Pagihari matahari berlari
Kota bergegas ke arah pelabuhan
Jembatan kehidupan di atas lautan
Kian hitam
Kapal harapan bersandar
Lalulalang, kendara saling bergegas
Doa-doa belum tuntas
Duha tegak saat fajar beranjak
Berombak-0mbak doa tersibak
Tepi sungai memanjang
Airnya biru
Rumah-rumah sepanjang
Menghadap kiblat
Di kediaman syarifuddin dea
Penyair datang dan pergi
Menggelegakkan kata
Ke retak tubuh kita
Ke lingkar selatan
Malam bergerak perlahan
Rimbun alang-alang gumam perlahan
Mengintai babi hutan menyeberang kelam
Kerbau-kerbau di sawah
Tak banyak dijumpa sudah
Kenangan yang kian lenyap
Hari-hari terus berkesiap
Terminal lama,
Tempat janji jumpa dan pisah
Dengan rahmah
Datang dan pergi
Masjid kota jadi saksi
Aku, heni, dan aini
Pernah janji selalu reuni
Lalu seperti kendara jalan raya
Hilang suara ganti bising tak pernah reda
Doa-doa terus meminta
Tanpa pernah kenal renta
Di sini pula
Cakraningrat IV menghancurkan
Lalim penguasa
Masjid di sudut jalan
Menggandeng sungai ke bujur timur
Pagihari matahari berlari
Kota bergegas ke arah pelabuhan
Jembatan kehidupan di atas lautan
Kian hitam
Kapal harapan bersandar
Lalulalang, kendara saling bergegas
Doa-doa belum tuntas
Duha tegak saat fajar beranjak
Berombak-0mbak doa tersibak
Tepi sungai memanjang
Airnya biru
Rumah-rumah sepanjang
Menghadap kiblat
Di kediaman syarifuddin dea
Penyair datang dan pergi
Menggelegakkan kata
Ke retak tubuh kita
Ke lingkar selatan
Malam bergerak perlahan
Rimbun alang-alang gumam perlahan
Mengintai babi hutan menyeberang kelam
Kerbau-kerbau di sawah
Tak banyak dijumpa sudah
Kenangan yang kian lenyap
Hari-hari terus berkesiap
Terminal lama,
Tempat janji jumpa dan pisah
Dengan rahmah
Datang dan pergi
Masjid kota jadi saksi
Aku, heni, dan aini
Pernah janji selalu reuni
Lalu seperti kendara jalan raya
Hilang suara ganti bising tak pernah reda
Doa-doa terus meminta
Tanpa pernah kenal renta
Di sini pula
Cakraningrat IV menghancurkan
Lalim penguasa
SURAT KEPUTUSAN
MENGINGAT:
malam bentang bulan berlarian ke balik awan
sunyi tikam-menikam ingatan
MENIMBANG:
Betapa besar rindu tertahan
Di antara detak bintang dan degup bulan
Te,aram di serambi kenang
Dingin berguliran di rumputan petang
MEMUTUSKAN:
Ah betapa dalam rindu kau tumbuhkan
Merdu lagu kau lantunkan di pertigaan malam
Aku letakkan sungai
Kau layarkan sampan
Aku menarik jangkar
Kau tiup angin lautan
Aku mengibar layar
Kau deru badai bersahutan
: Ya..Aziss...
Saling melayar
Ke batas mercusuar
malam bentang bulan berlarian ke balik awan
sunyi tikam-menikam ingatan
MENIMBANG:
Betapa besar rindu tertahan
Di antara detak bintang dan degup bulan
Te,aram di serambi kenang
Dingin berguliran di rumputan petang
MEMUTUSKAN:
Ah betapa dalam rindu kau tumbuhkan
Merdu lagu kau lantunkan di pertigaan malam
Aku letakkan sungai
Kau layarkan sampan
Aku menarik jangkar
Kau tiup angin lautan
Aku mengibar layar
Kau deru badai bersahutan
: Ya..Aziss...
Saling melayar
Ke batas mercusuar
DINI
Seperti dini cintaku merambat
Dalam dingin dan gelap
Temaram bintang dalam nafas
Nyanyian sunyi kian keras
Aku pun menjadi bulan lima belas
Terbit di antara gulungan cemas
Gunung-gunung keangkuhan merunduk
Di atas hamparan rumput petang
Sungai-sungai berdesir membelah mata
Neggelamkan gelisah
Berbatu-batu pasrah
Di tepi-tepi sepi
Aku menjadi subuh
Melepas gelap di ambang batas
Layar matahari menderkap
Pagi berlabuh
Dalam dingin dan gelap
Temaram bintang dalam nafas
Nyanyian sunyi kian keras
Aku pun menjadi bulan lima belas
Terbit di antara gulungan cemas
Gunung-gunung keangkuhan merunduk
Di atas hamparan rumput petang
Sungai-sungai berdesir membelah mata
Neggelamkan gelisah
Berbatu-batu pasrah
Di tepi-tepi sepi
Aku menjadi subuh
Melepas gelap di ambang batas
Layar matahari menderkap
Pagi berlabuh
Langganan:
Postingan (Atom)