Translate

Selasa, Oktober 06, 2009

NIPAH

Bukan hutan tapi waduk
Membuat pikiran dan hati teraduk
Kegelisahan campur aduk
Meminta korban mati penduduk


Tak banyak yang mengenalmu
Selain kisah kera raden segara
Tanah tegal terbentang
Di antara sungai batu terlentang

Musim terik
Nasib yang mencekik
Tak banyak beri harapan
Selain rantau tanah tujuan

Banyuates
Bukan air menetes
Nama kecamatan
Tempat Nipah dipetakan

Dusun larlar , dusun talang
Dua dusun yang tiba-tiba mengerang
Tak ada yang mengenal
Tersamar di duri kanal

Di pagi yang menyengat
September 93, duapuluh lima tanggalnya
Orang-orang ketanah lapang
Beramai-ramai dengan suara lantang

Menolak pengukuiran tanah
Karena tak pernah diajak musyawarah

(rencana waduk seluas 170 hektar
Mengairi tegal 1.150 hektar
Biyanya sebesar 14 milyar)

Pagi meninggi di atas ketinggian bukit duri
Orang-orang tak takut mati
Nipah kobarkan api
Sampang mengisi berita pagi

Mutirah & Muhammad
Nindin dan Simoki
Empat orang tewas
Diterjang panas peluru petugas

Nama-nama yang tak pernah
Tercatat dalam kumal sejarah
Korban kuasa serakah

Sungai-sungai berdarah
Ulama resah
:” No comment, no comment, no comment !”
Suara kiai Alawy
Di depan kantor pulisi
Membakar layar televisi

Huru-hara kian bara
Di koran dan media massa
Merobek-robek pagi
Menikam sunyi

Langit desa berasap
Jalanan senyap
Berhari-hari berapi
Mengisi berita nagari

:”Nyo’on odhi’
Nyo’on odhi’
Nyo’on odhi’ , Pak! “

Suara-suara yang sesap
Ke liang lahat

Doa dan tangis
Menggali kubur
Tanam mayat keadilan
Di meja hijau

Orang-orang pantang menyerah
Renangi rencana
Waduk Nipah
dalam dada pasrah

Hujan air mata kian deras
Memecahi batu ketakutan yang keras

Suara baling-baling kleghidupan
Kian kencang berkerjapan
Putaran persoalan kian samar
Ditelan zaman yang memar
2009

Selasa, September 29, 2009

PAMEKASAN

; Lanchor

Sebuah persimpangan pagi
Pengendara berlalulalang
Suara sempritan kadang lantang
Kini tak lagi

Taman nan rindang
monumen menjulang

malam remang
pintu belakang
pejalan gelap mengendap
kembang minyak wangi menyengat

aku melintas
samping gedung karesidenan
penghubung jalan kota dan sekolahan sma
putih & coklat susu warna seragam
mengantongi ingatan bergenggam

dekat menara air
mesin pln yang selalu gegar
kini mati tak terdengar
bersebelah dengan gedung taman siswa

kemegahan bioskop irama
memutar film india
kini merana tak ada yang iba
kenangan yang diterbangkan rama-rama

di bawah kerindangan ki hujan
rumah makan dan sebelahnya tanah lapang
malam-malam kuli bangunan minum-minum sambil jogetan
lepaskan bimbang tak bisa pulang ke tanah istri nan lengang

kini beridri kantor Dewan Kesenian Pamekasan
di sudut jalan dekatnya berdiri gagah gereja pantekosta
bersebrangan dengan keanggunan masjid Syuhada yang perkasa

: Lao’
Ke panglegur
Berbaris pertokoan
ABC bersebelahan dengan Apollo
Toko yang menyediakan aneka rupa
Bersebelahan dengan hotel garuda

Toko kelontong kampung pecinan
Bersebelahan dengan sungai menyibak jalan
Kebatas pertigaan geladak gherra manjheng

Belok kanan sepanjang jalan nuju jungcangcang
Pemukiman dan pertokoan saling berjejal
Di seberang pasar gurem yang ditata ulang

:bara’

Memutar dari masjid Syuhada
Sudi mampir
Es campur, sepotong roti, dan sebungkus kacang
Warung jujur yang selalu percaya pada yang datang
Semua dibayar dengan harga lapang

Sarsore, jadi pusat pertokoan bertingkat
Semua pada cemas diimpit pusat swalayan indo maret dan alfamart

Tuan-tuan, laki juga perempuan
berdagang emas
Aneka perabot & perangkat elektronika
Berjajar memijar kenang kampong Arab
Di situ rumah tinggal Bakar dan Yusuf

Kampong parteker
kerap perang mercon dengan kampong galadhak anyar
Saat tellasan di awal syawal.

Bangunan tanah masih ramah
Sungaisungai sebelah rumah
Tak ada masalah
Semua berjalan searah

Tahun-tahun lewat
Kenang-kenang lindap

Bila hujan datang
Kini sungai sering menguap
Dengan air coklat
Derita pun cekat

Tanah paving
Jalan beton
Hawa kering
Tak tertahan

Kota dengan batikan sepanjang jalan
Pagar kantor dan jembatan
Mewarnai mata memandang

Di pendapa jalan jokotole
Masih aku kenang aneka seni pertunjukan
Seminar peradaban songsong masa depan
Dan perubahan

Sarsepir telah dibubarkan
Berganti pasar sepeda dan elektronika loakan
Berjajar gedung perpustakaan yang besar
Di samping sungai manten yang airnya sejengkal

Bangunan penjara
Jauh di barat sana
Dekat pasar 17 yang kini berganti
Kantor Bupati
Berseberang dengan penadapa Ranggasukawati
: Bugih

Di persimpangan jalan siang
Aku pernah nunggu kendaraan
Utara ke Palengnga’an
Barat ke Proppo dan Batuampar

Persimpangan yang saling bersilang
Antara perubahan dan rindu kenang
Berkelok dan menurun ke dalam dada
Tempat segala rasa ditempa

STINGGHIL

; Bhabharan

Di atas bukit
Kubur-kubur berapit
Menanam batu nisan
Lumutan ingatan

Di atas goa babaran
Gairah kematian
Ke kiblat memandang
Bangunan kota berserakan

Disini hidup berlalu
Ada namamu disitu
Tulisannya ungu
Lekat di mata waktu

Simpan duka, juga bahagia
Lepas dari beban dunia

Undak pertama
Tertanam
Ari-ari pangeran Trunajaya

Setelah undakan
Miring tanjakan
Batu gunung menjulang
Batu tabu berbilang

:” disini
kerap jadi
arena judi
antara nasib buntung
dan untung
antara nista dan mati gantung
kartu usia terus diedarkan
dtelungkup di atas tikar
menutup permainan”.

: Lembah

Liat tembikar menghampar
Lembah hijau marmar nisan
Menyemai kenangan bagi yang ditinggalkan

Angin menyapa debu
Matahari mencium batu

: Glisgis
Terjal bukit memutih
Simpan mata air
Dan air mata

Para penggali batu
Memecah dada
Hidup tak pernah
Berpihak padanya

Pohon getir tak lagi disitu
Kaktus duri memeluk rindu

Ziarah kerikil kata-kata
Menitip sakit lewat telapak
Bahasa juga tinggal jejak

Memasuki jurang nasib
Tak pernah tertib

:guwa kene’
Batu rimba hamparan
Rumput kering kecoklatan
Coklat takdir terkenyam
Hidup kadang terasa tak nyaman

Tumpuk sampah jejal mata
Satu dua truk angkut mata
Kuras airmata
Tak pernah reda

Merah menara selluler
Jeram menancap dada
Sadap dan kirim berita
Bukan kematian tentunya

Lukacuka tanah dara
Pila-pilu sungai renta

: konco’
Dari timur pucuk
Kubur kota cahaya
Diiring langgam trunajaya
Memainkan komposisi
Keroncong Abdul Mubin

Tarian bukit dan sungai
Membelah mata anai-anai

Sampang, 2 Syawal 1430 H.
Catatan kecil:
Stingghil= kuburan kuna yang terletak di bukit babaran, arah timur kota Sampang. Di tempat ini memiliki pesona alam pebukitan yang amat indah karena dapat terlihat semburat bangunan dan atap merah pemukiman kota Sampang. Juga ada gua babaran yang sekarang dibiarkan terbengkalai. Sesekali terlihat para remaja pencinta alam memanfaatkan tebing gua untuk latihan panjat tebing.
Disini juga dapat dilihat aneka nisan yang terbuat dari batu gunung sediktinya yang sempat terdata penulis ada 15 macam bentuk nisan di antaranya ada yang usianya lebih dari setengah abad.
Abdul Mubin= musisi keroncong di kota Sampang dan pernah berjaya dengan orkes keroncong Trunojoyo, dengan salah satu gubahannya yang cukup populer saat itu berjudul “ Langgam Trunajaya

Jumat, Agustus 07, 2009

WANITA

di sinilah awal dermaga
dan kesana kelak lelaki
berlayar pula

KALIANGET

tua dermagamu
aku temukan jejak kapal
dan kompeni
mengangkut garam hidup
tak pernah surup

LADANG PEREMPUAN

gemburilah
dengan mata bajak cintamu
matahari rindu
membakar hampatan nafasmu

benih-benih kasih tersemai
dari tangkai mahakasih
hingga tumbuh pohon-pohon hayat
mematangkan buah kesalehan
menghapus aroma kesedihan

di pematang waktu
bunga-bunga mekar
semerbak biru cinta

dengarlah langit rindu
melagukan ruang ibu

PENAMBANG PERAHU

:antara kalianget - talango

Perahu-perahu menyibak selat
buih menepi harap
di terik hidup
yang tak pernah senyap

Tangan waktu mengekar
tambang nasib
tak tertakar
minta sabar


Gelombang riuh terus berdenyar
menampar pelipis siang
ikan-ikan cahaya menggelepar

Hati mu tak gentar

SYA’BAN

Batang –batang sya’ban
semi dedaunan
menuliskan huruf-huruf harap
dan menggugur hari-hari lewat

Bulan bundar
ekor kunang
buka cermin
dan pujian

Bayangmukah disana
memangku anak-anak petang?

Bintang-bintang menetas
doa sungai menderas
ke batas arasy
Butir-butir darah berlayar
susuri bibir usia
panjati bukit-bukit senja
turuni lembah dosa

Lalang-lalang penyerahan meronta
ke akar tanah
ke akar kata

Sunyi angin
sunyi ingin
tenggelam dalam bening
telaga hening

Senin, Juli 27, 2009

DI TEPI JALAN

berangkatlah, ujarmu
di pagi yang menggeliat
aku hanya berdiri di tepi matamu yang berbinar
cahayanya membongkar kembali buku-buku yang telah rapi kusimpan

aku ingin meneruskan jalan ini
namun aku tak sanggup untuk meninggalkan rumah mungil yang kudirikan
dengan keringat
lihatlah anak-anak itu semangat membaca setiap abjat
lihatlah anak-anak itu semangat menuliskan hikayat

di tepi jalan ini
aku saksikan anak-anak itu menuliskan matahari
menggambar bulan
dan memahat gunung, sungai dan lautan
berbuncah-buncah di mata waktu

Jumat, Juli 10, 2009

HITAM KOPI

Sehitam rambutmu sisakan aroma di gelas dini
tumpahan malam berserak di meja pergumulan

Semanis lidahmu larutkan gula rindu
tercecap sudah pening puting cinta candu

Hangat jemari kerongkongan pagi
memungut ampas nafas tersengal

akhiri percintaan sungai dan lelaki pengail

Rabu, Juli 08, 2009

DUA PEREMPUAN

Apa yang didengar dari dua perempuan
Tak lain adalah bisik
mengusik suaminya yang tak baik

Apa yang dibicarakan dua perempuan
Tak lain adalah bisik
menggunjing tetangga yang tak baik

Apa yang dibicarakan dua perempuan
tak lain adalah bisik
mengutarakan lelaki simpanan dalam bilik

Apa yang dibicarakan dua perempuan
Tak lain adalah bisik
Ngrasani perempuan lain dengan sirik

Apa yang dibicarakan dua perempuan
Tak lain adalah bisik
Gerutui suami yang tak pulang-pulang

Dari istri paling muda

TATO WAJAH

Dari mata televisi orang-orang menyobek mulutnya
bertumpahan di ruang tamu
logo swalayan di dahi warna ungu

Dengan denah di coklat paha mengarah tebing meninggi
Hutan-hutan gelap dan sunyi
Mengerami telur nasib dan hari kelabu

Anak-anak berlompatan dari jendela
memegang bungkus makanan instan
Pelarian yang sangat menakjubkan

Mereka membaca nasib dari
para mentalis yang beraksi dalam studio tv
Merancang masa depan dengan lagu-lagu cinta yang seragam

Tarian jalanan melingkar di ujung terminal
Bus-bus mabuk sempoyongan
Mengantarkan para penumpang ke pusat belanja
Dalam keranjang yang terbuat dari sobekan senja

Di depan sekolahan spanduk raksasa menawarkan rasa baru
Ruang-ruang kelas yang gagu
Aku ingat ibu yang tulus mengajariku
Dari kedalaman hati yang biru

:Lalu kutuliskan gincu di pintu sekolah itu
Tato wajahku
Namun hati telah dipahat pulau beribu

Sabtu, Juli 04, 2009

30 JAM DI ATAS BUS

; catatan perjalanan buat syaifuddin syarif
(1)
Sumenep menuju Jakarta
30 jam di atas kendara
Punggung gerah, mata pedih
Badan penat dihajar lelah

Di atas jembatan suramadu
Bis melaju di bawah langit biru
Jembatan yang menyulam madura dan surabaya
Tak ada gelombang jalan terentang
Dari labang sampai daerah kenjeran

Surabaya yang padat penuh bising pertokoan dan kendaraan
Membongkar kembali kubur kenangan di peti yang tenggelam
Riuh pelabuhan membayang
Hanya amis laut terkenang

(2)

Shalat jumat di gresik
Dua rakaat tanpa bisik
Rasa lapar terus mengusik
Tak membuang rasa khusuk

(3)
Sepanjang pesisir tuban
Rumah-rumah mungil bertebaran
perempuan-perempuan melambai
Memanggil masa silam
Di antara gerobak truk dan laki petualang

Disini dahulu para pejantan pernah berlabuh
Menambatkan jangkar
Di dermaga perempuan

(4)
Malam mendingin di luar udara polusi
Truk-truk besar dan bus malam saling membunyikan tuter
Jalan sesak dan tak mau terlambat
Aku terhenti di kilometer yang panjang
Seperti antrian menuju penghisaban

(5)
Selamat siang jakarta
Udara panas dan awan abu-abu
Kemacetan dimana-mana
Mobil motor melata bagai reptil berdebu

(6)
Botani Square
Aku kini datang mengunjungimu
Menanti bus pengganti yang mengalami rusak mesin
Ah... bangunan yang mengingatkan pohon besar di tengah hutan
Ditunggu jin dan wewe gombel
mengintai mereka yang kurang waspada

Barangpbarang konsumtif aneka rupa
Dipajang di etalase dan ruang kaca
Siap menerkam siapa saja
Yang tak sanggup menahan dahaga belanja

(7)
Di lembah tajur
Aku menyaksikan anak-anak bermain gokart
Dengan kecepatan 40 km perjam
Di kejauhan sana anak-anak meluncur di seutas tali
Berteriak memompa nyali

Lembah-lembah palem
Di antara keteduhan matahari yang tenggelam lebat dedaun
malam dan hujan merimbun
; di tempat terpencil dan sejauh ini
Aku hanya ingat kesendirian ditikam sepi

(8)
Hutan gringsing
selalu kuingat perempuan-perempuan muda
Penjual kelapa muda di tanjakan berliku
Menyibak pohon lelaki sepanjang jalanan
Menumbuhkan desah dan gerutu

(9)
Palakaran,
Sawah-sawah membasah
Dihujani panggilan subuh
Memulangkan masa kanak
Yang telah beranakpinak

Selasa, Juni 09, 2009

HUJAN DINI

Rintik itu sebab hati basah
Bunga-bunga merekah
Kelopak-kelopak menadah
Doa pertapa di rumah lebah

Angin susupi kulit dingin
Ada gemetar di lubang angin
Daun-daun terpelanting ingin
Mekar mahkota di atas angin

: siapa terbang memeluk dingin
Suara kamar berdenging
Disulih lengkung lengking sumbu angin

Kamis, Mei 21, 2009

BEZUK


:ruang ICU
pengunjung hanya boleh masuk satu
sandal dilepas
dan beberapa lembar peringatan di tembok yang dingin

pemacu jantung di dadamu bergaris hijau
seperti pupus harapan bersembul dari pangkal harapan
kasur beroda laci obat
dan lemari pendingin yang berat

membekukan percakapan yang terbungkus dalam plastik
nafasmu gunung penat dan laut lusuh

di meja tergelatak sepotong pisau berkilau
buah-buah yang cemberut
matamu yang surut

sungai di wajahmu yang mampat
menenggelamkan lumpur dan batu-batu pekat
bibir-bibir doa mengepung
di antara semak risau

ada doa
permintaan maaf
dan pandangan yang melambai lunglai
merindu rumah yang ditingggal

KAMIS

Dengan secangkir teh manis
Malam larut dalam percakapan
Daun-dauan yang sakit dan berguguran
Di antara keluhan tak nyaman cuaca hujan
Gorengan dalam tas membungkus tubuh kita
Yang dingin dan berair
Sebatang rokok kau nyalakan
Bau keringat pepohonan basah melunuri resah
Ada tawa dari sela-sela kegelapan
Bayang-bayang bulan di antara awan
Rasa sayang yang beratangan
Saat kau terkapar di ranjang

Di jeruk kamar yang melepuh
Di piring dingin yang membeku
Kau membanting pintu
Jumat yang menganga kembali surut dalam kamar

Rambut pagi yang basah
Suara paraumu mendesah
Di kolong yang bergumul dengan dinihari
Saat matahari meledakkan biji-nijinya

Selasa, Mei 19, 2009

1000 HARI

; mengenang kematian rahmat mulyana

1000 hari kepergian air mata
Mengundangmu kembali di beranda
Membacakan barzanji
Dan kitab suci

Tahlil di ruag tamu
Membuka semua pintu
Di luar langit biru
Derap kaki tak bersepatu

Daun-daun menari
Garis hujan terakhir mengguyur mataku
Tak dapat melupakanmu

Doa-doa berdatangan
Di usia yang beranjak pergi
Doa-doa beterbangan
Di waktu yang menancapkan janji

1000 hari kepergian airmata
Menyusulmu kembali di beranda
Berbagi sisa riwayat dan hikayat

Dan tak sempat kucatat
Kesabaran dan tulusmu
Mematung di ruang tunggu

Minggu, Mei 17, 2009

PAGI BERNYANYI

Dari sebuah radio usang
Penyanyi itu melagukan pagi
Mengecup kening matahari
Merah tanah merah pipi

Barangkali ini pertama gairah pecah
Dari dingin yang berbuncah
Gemetar kamar melenguh
Di antara nafas kabut

Ada senyum di bibir pintu
Tempat kita menyilangkan rindu
Meumbuhkan bunga-bunga kemuning
Bermekaran di kening

Selasa, April 28, 2009

DETIK-DETIK MENGHADAPI UJIAN

(1)
Pelajaran pertama yang diterimanya adalah perploncoan yang dilakukan kakak-kakak kelasnya. Konon katanya untuk membangun mental
dan menambah keakraban. Namun yang tumbuh kadang rasa dendam
dan keinginan untuk baku hantam

(2)
Sebuah buku dengan harga tertera
Sebuah kewajiban baru tuk dibaca
Lembaran kerja siswa
Dan jadwal baru untuk mengikuti
Pelajaran tambahan di sore atau malam hari

(3)
Beginilah gambaran pertanyaan-pertanyaan
Yang ditanyakan malaikat dalam kuburan
Tegang menakutkan khawatir lupa jawaban
Yang telah dihapalkan

(4)
Ada yang menangis ketika melihat penjaga yang menakutkan
Mereka dengan ketat diawasi sehingga harus bekerja sendiri
Begini rupanya menghadapi pertanyaan di hari akhir
Tak bisa minta bantuan orang lain

(5)
Seperti apakah rasa bahagia setelah mengikuti ujian
Seperti lulus ujian nasional yang dirasakan anak-anak sekolahan
Melebihi itu kebahagiaan setelah penghisaban
Setelah seluruh perbuatan memberikan kesaksian

Senin, Maret 23, 2009

ANDAI

Bayangkan seandainya yang berdiri di depan kelas bukan guru
Tetapi murid yang hanya belajar dan mengajarkan satu mata pelajaran
Sementara guru duduk di bangku murid dengan menelan 16 mata pelajaran
Siapakah yang akan lebih pintar?

Bayangkan seandainya yang mengikuti remedial berulang bukan murid
Tetapi guru yang mengajarkan dan senang jika banyak murid yang tak mengerti pelajaran

Bayangkan jika yang diolok-olok bodoh dan tidak pintar aalah guru yang selalu mengulang-ulang pelajaran tanpa merevisi dengan perubahan-perubahan pengetahuan yang terus berkembang. Betahkah dia dalam ruangan?

Senin, Februari 09, 2009

PAGI BERNYANYI

Dari sebuah radio usang
Penyanyi itu melagukan
Mengecup kening matahari
Merah tanah merah pipi

Barangkali ini pertama gairah pecah
Dari dingin yang berbuncah
Gemetar kamar melenguh
Di antara nafas kabut

Ada senyum di bibir pintu
Tempat kita menyilangkan rindu
Meumbuhkan bunga-bunga kemuning
Bermekaran di kening

SELEPAS SEKOLAH

Selepas SMA enaknya kemana?
Melanjutkan pendiidkan dokter.
Tidak. Baiknya menikmati kebebasan
Dari tekanan tugas tak berkesudahan

Kalau ulangan nyontek atau kerjasama.
Jangan. Kebiasaan itu akan kau bawa sampai dewasa
Bagaimana kau akan mencontek hubungan keluarga

MUSIM TEMBAKAU

Dari lembah perempuan-perempuan mengusung sungai
Musim tembakau ladang-ladang berkilau
Menerbitkan bulan di antara retakan wajah pulau
Memikul kemarau bertahan dan nasib menyeringai

TANJUNG

Di batu malam
Bulan tenggelam
Gelombang berkilau
Di antara rimbun bakau

Perahu-perahu melaju
Ke laut dituju
Perempuan-perempuan menunggu
Sampai langit perunggu

Pantai pagi
Dengan berkeranjang matahari
Membawa gelepar impian
Insang merah kehidupan

Perempuan-perempuan berbinar
Menanti lelaki turun sekunar
Dada berdebar menakar rindu tak terbayar

LAYAR

Selepas ujung malam
Sunyi berdebar antara jantung dingin dan hujan
Bintang terbakar basahi belukar badan

MANIK MALAM

Antara ujung malam dan kanal dini
Manik bintang melayari sepi
Dingin berpendar dari batu-batu sunyi
Memetik resah danau tubuhmu
Bulan di dasar dingin mengigau derau

BACA

Baris huruf berjajar dari kiri ke kanan
Pikiran bergerak dari tepi ke dalam
Keduanya bertemu dalam perasaan

JALAN USIA

Jalan memanjang
Waktu mengerang
Usia hidup terus meregang
Menuju batas ke seberang

Selasa, Januari 27, 2009

DI UJUNG HUJAN

Dingin lancip menusuk pagi
Pohon-pohon gigil dan tanah menuai rindu basah
Selain dingin apa yang kau rasakan dalam pergi
Binar matamu selalu menumbuhkan rindu sejuk membasahi kisah ini
2009

DI PANGKAL HUJAN

Yang mengucur dari pancuran adalah rinduku
Yang menggigil dalam pelukan adalah rindumu
Musim ini masa tanam yang baik
Tak ada salahnya membenam benih di bulan naik

Seratus sungai membentang di dadamu
Riak rindu bertalu-talu merah jambu
Seratus bulan bersemi dari balik bukit
Nyanyian sunyi membelai daun cinta yang sakit

Sepasang gunung tumbuh di dua mataku
Pendakianku dan istirahmu
Merapal musim mengingat pulang
Menghapal senyum selalu rindu mulang
2009

Rabu, Januari 14, 2009

AZMIL BELAJAR MENGHAFAL


Sambil tiduran azmil belajar menghafal sajak yang ditemukannya dalam buku, besok akan dinilai bu guru. Sajak keindahan alam yang hanya ditemukan dalam kotak televisi. Ia menghafal sekuat tenaga seperti roda masuk gigi tiga, pagi, siang dan malam sehabis isya.

Katakan pada bu guru sajak semakin susah dibaca, karena orang-orang lebih suka belanja daripada meresapi mana sajak kita. Orang-orang lebih suka mendengar janji-janji daripada memaknai hidup yang kian ngeri.

Buku bahasa Indonesia terbakar dalam ruangan 15 watt hemat energi. Huruf-hurufnya berlepasan membangun alfabet yang pernah lamaditinggalkan. Gerakan sadar membaca hanya ada dalam rumah tangga yang bershabat dengan masa depan anak-anak yang berselancar dalam dunia maya; virtual reality.

Bu Guru, Aku tak ingin membaca sajak, bahasaku telah tenggelam dalam kolam yang selalu kau buang airnya. Aku akan menggambar huruf A yang kakinya dua atau z yang zigzag sebagai liku siku hidupku. Aku akan membangun sungai di antara mata memandang dengan sampan-sampan yang akan menyeberangkan aku ke negeri beribu. Aku bawa kail untuk memancing nasib baik dan melemparkan nasib buruk.
Aku akan gambar kapal-perahu Nuh yang menyelamatkan kaum yang taat. Tapi juga aku akan membawa bu guru melihat dunia lain yang terus berdatangan sepanjang waktu dalam ruang belajar. Google yang gesit mencari informasi akan aku kenalkan pada bu guru. Yahoo yang genit juga selalu memajang gadis-gadis cantik berjemur di pantai di antara derai pohon kelapa yang membelai langit hijau.
Sepanjang pasir – pantai, huruf-huruf berjemur mematangkan warna, dan di antara gerutu bakau yang kian kacau ikan-ikan dan kepiting berselingkuh melahirkan blasteran bahasa yang kian gaduh di rumah-rumah penginapan dan peristirahatan di ujung jalan
2008

SEPASANG SAYAP

: pernikahan NS ke 24

Semeja nasi putih di meja panjang
Semoga membuat pernikahanmu suci dan tak lekang

Acar timun dan dua macam kuah gulai kuning dan sop daging
Semoga menyegarkan percakapan daun-daun dan tak berpaling

Tusukan sate dan gorengan otak di piring
Semoga menguatkan kekhusyukan pada tuhan tak berpaling

Se-tong es buah warna-warni
Tuangan menyejukkan kehidupan yang kian tak alami

Sendawa dari para teman, usai menghabiskan santapan
Lepaskan derap prasangka yang selalu saja ada di hadapan

24 tahun tak lagi muda di raut
Namun beum terlalu tua untuk terus menyala cinta terpaut

24 desember 2008

ANDREA NON HIRATA

Andrea, empat buku yang kau tulis, menuliskan tahun-tahun kami yang hilang di tahun-tahun silam. kami menyusuri kenangan di kelas gedung SD inpres, separuh gedek dengan alas tanah.

Sekolah di bawah bukit dengan batu-batu buncit di halaman. Kami kekurangan guru. Namun bapak-ibu guru begitu tulus menularkan ilmu, seperti virulensi yang kemudian mengutukku jadi pecinta. Tak banyak buku-buku tetapi dari lidah itu menyembur aneka ilmu sedikit tapi mendalam. Tak banyak tetapi paham menjalankan hidup penuh ikhlas.

Jalan-jalan setapak, dan di jalan motor belum banyak, televisi hanya ada di rumah kalebun dan pak camat. Suara radio tiada henti menyemburkan informasi dari berbagai negeri, sehingga kami bisa membangun imajinasi. Lagu bang haji oma irama terus-menerus menggetar selaput telinga, kami kenal dangdut namanya.

Bila pagi tiba, tak kami pikir seragam sekolah tetapi menanti bapak ibu guru menceritakan pelajaran yang pertama atau boleh memilih apa yang kami suka. Kami terbiasa tak bersepatu dan seragam sehingga pikiran kami jadi beragam. Cita-cita kami juga macam-macam. Ismail yang haji tak sampai tamat SD negeri, tetapi sekarang jadi juragan besi tua, punya pabrik accu imitasi, dan punya dua istri. Hasan yang sekolah di kota terdekat saja sudah menjadi pejabat penting di kejaksanaan negeri. Sapari yang dikeluarkan karena malas kesekolah telah lama jadi pedagang besi tua dan kaya. Hanya Nanto yang takkutahu kabarnya, pada hal dulu paling banyak fasilitasnya, namun tak ada kabarnya selepas SMA.

Saat kami dewasa merasakan bedanya hidup susah di jaman lalu, tak semanja anak-anak sekolah saat ini. Tapi kami lebih mandiri dan siap menghadapi perubahan situasi yang tak mudah diprediksi. Kami tak pernah memilih takdir, tetapi kami mebangun mimpi berkali-kali sambil mengirim doa tida henti, juga bagi anak-anak kami yang akan melanjutkan kisah setelah kini.
2008

ANAK – ANAK BERMAIN PETAK UMPET

Anak-anak itu berhambur mencari tempat sembunyi, seseorang di antaranya, jadi pencari. Mereka sembunyi di rimbun kembang di halaman, sebagian lagi ngumpet di balik pagar. Ada pula yang sembunyi dibawah kolong.

Persembunyian yang tak sempurna, karena malam gelap sekali pun memantulkan cahayanya. Persembunyian yang terus bergerak ke dalam hidup yang penuh teka-teki. Sembunyinya perasaan dari dusta, kerap kali mengajak diri untuk mengingkari layak orang suci. Usia terus merambat dari pembuluh waktu yang berliku, rerambut putih kemudian dicat hitam.

Di kamar tidur desah nafas memenuhi dinding dengan aneka warna yang terus menua. Merekam langkah-langkah yang pernah berbuat salah. Dari persembunyian itu, aku terus mengembara ke tempat-tempat yang tak mungkin kau tahu. Tetapi seperti anak-anak itu akhirnya juga bertemu, sebab tak ada yang bisa sembunyi. Juga diri kita sendiri yang selalu dikejar dan dibayangi tubuh yang sembunyi dalam diri.
2008