Translate

Rabu, Maret 28, 2012

TUAN KUDA LAUT

12.00

Tuan kuda laut, hidup dan maut
Kau lihat perempuan bercukur lelaki itu. Reruntuhan rambut waktu menumbuhi halaman rumah ibu. Bintang laut dan ubur-ubur beterbangan dari laut dalam ke matamu. Terbang dengan sayap di kedua sisi yang menutupi pandangan . Tuan tahu pemilik kebun itu? Adalah ibu yang selalu merawat dan menyemai rindu. Lautan dadanya lapang menampung semua bimbang menjadi bening di kedua matanya yang bulan.

Tuan kuda laut, karang-karang dan lumut
Memecahkan batu waktu yang menghampar di antara padang sembilu. Si karang tegar pemecah gelombang yang tak pernah tenang menampar bibir dada malang. Lelumutan berbiak di antara celah bebatu dan hati tuan. Meluruhkan bebal batu malam menjadi butiran-butiran kenangan.

Tuan kuda laut, hati kembang dan ciut
Lelaki yang menjelajahi lorong rahim dan perempuan yang menyusuri liang laut. Betapa, gelombang memukul belahan dada dan si ayah menjadi ibu bagi anak-anak silang. Dari donor sperma yang kemudian memasuki gelap rahim yang mengeram dalam bimbang. ayah dan ibu dari anak-anak yang ditumbuhkan dari huru hara dalam tubuhmu. Tuan Kuda Laut, tiga juta anakan terus merajut ibu dari ayah yang telah beku.

UBI KAYU

Batangan tubuhmu ditancap di hamparan tanah kajal tumbuhkan rindu. Hujan jarang bertemu dan angin sering membawa gering. Mengembangkan ketabahan yang bermekaran di pucuk musim kemarau. Batang-batang kasar menyimpan getah kecewa menjadi hijau dedaunan yang setia menadah butiran matahari. Butiran yang membakar dan mengenyangkan akar. Akar yang menggembung menyimpan butiran pati dan hidup menunggu musim surut.

Kembang-kembang bergoyang disapa angin selatan, badai dan hujan sering meregang. Petir pahit hidup sudah aku sembunyikan dalam biru sianida. Biru bayangan tubuhmu yang merunduk di malam-malam berbatuk. Tak ada biji, hanya umbi. Gumpalan nasib yang aku peram selama musim tak karuan. Menyelamatkan sanak dan kerabat kampung, menyerut serat kasar kehidupan dalam butiran-butiran sabar sepanjang tegalan jaman.

Rabu, Maret 14, 2012

SEMUR

Potongan daging yang terkapar dengan warna coklat kehitaman. Daging pilihan yang telah dipanggil untuk memenuhi santap malam. Menemani perbincangan di ruang makan sambil merencanakan ekspansi ke negara jajahan dan para gundik moi indie yang menjadi simpanan. Meneer, tak cukup potongan tubuh ini, maka ditambahkan pula dongeng perempuan dengan sekeping senyum di dada belahan. Bumbu pedas percintaan di ranjang-ranjang petang telah mengukir kelam di dinding sejarah kami yang buram.

Sebelum kelam para pelaut dari utara telah datang, dan kemudian beranak-pinak dalam perkawinan politik dan kultural, mewarnai kulit bangsa dan mata peradaban. Lembar sayatan yang dilumuri kecap pilihan dari lidah para petualang yang tak pernah pulang. Melengkapi sajian dimeja malambersama para Petualang yang berkumis panjang dengan kuncir di belakang. kuncir yang menumbuhkan kota pesisir.

Sepiring nasi pilihan. Nasi yang memantulkan butiran-butiran cahaya menerangi makan malam. Di meja lingkar peradaban kita berjumpa dari berbagai bangsa dalam sekerat daging yang tak pernah kita tahu nasib para peternak yang sabar dan selalu dikalahkan pemilik modal. Rumput-rumput pilihan tumbuh di pematang yang terpotong ketika usianya belum matang. Pengorbanan paling dalam sebelum hidup dilunaskan. Keratan daging, sayatan serat-serat kata, sapi peliharaan, dan rerempahan menghangatkan pembicaraan tuan, perempuan dan kekuasaaan.

PETANI SRIKAYA


Sekujur matamu, bayangan gunung gersang
Saat musim mulai mendaki hujan
Perempuan-perempuan gunung tak pernah murung. Sabit di tangan selalu menyabitkan Tanya pada rerumput sunyi yang tumbuh di sela bebatu

Perempuan perkasa ditinggal lelaki mengembara
Membawa berpikul airmata di pundak waktu. Sekeranjang rerumput dan daun
di atas kepala selalu menghijaukan syukur tak terukur
Di tangannya hijau tembakau, dan sulur ubi jalar menyisir rambutnya yang ikal. Bening sumur matanya tak pernah kering mengurung angin dan gelombang miring
Terbitlah bunga di musim ketiga

Di cecabang pohon srikaya. Perempuan-perempuan tak lelah menuruni bukit
sebagai menuruni tangga bahagia dengan keranjang syukur di kepala. Mendatangi kota
Di sepanjang trotoar hotel wijaya atau di sisi gedung Bank Negara. Mereka berhitung laba, meski tak seberapa. Namun mereka tetap berbunga berbagi bahagia
2012

Senin, Maret 05, 2012

SARI JAMBU BATU

Semerah darah tubuhmu luluh dalam gelas penggiling

Lelehan selalu meneteskan pedih buat kekasih

Daging yang lepuh melapukkan segala keluh

Yang tercekat di kerongkongan.

Segelas kasih disediakan ibu saat adik terbujur gering

Di pembaringan

Merah hatii. Warna senyum ibu menyuguhkanmu di atas meja

Di ruang tamu menyambut sanak keluarga yang tiba dari luar kota

Tubuhmu basahi siang yang gerah dan mengusap haus kerongkongan

Sepanjang perjalanan

Kisah kebun-kebun di pedalaman yang kehilangan

Sebuah peristirahatan di antara belukar merah. Sungai dan danau buatan

Mengepung segala ingatan

Ingatan tentang ibu yang tak sempat aku balas budi. Namun di merah tubuhmu

ditimpa lampu senantiasa mengingatkan senyum ibu

Yang tak pernah menipu

2012