Puisi; Tubuh yang Bertabur
Kode Genetik
Puisi
sebagai tubuh merupakan setumpuk organ-organ yang saling berinteraksi untuk merepresentasikan
respon terhadap lingkungan. Organ-organ yang tersusun dari jaringan kata-kata sebagai
rangkaian pesan terhadap lawan komunikasi atau lingkungannya. Maka setiap sel
yang menyusun tubuh, setiap kata yang menyusun bangun tubuh puisi bukan tak ada
makna, melainkan sebuah sistem yang mengkodekan atau menandai sebuah persoalan.
Tubuh yang peka terhadap setiap perubahan di luarnya, serta memberikan respon
sebagai aktivitas menjaga keseimbangan (homeostasis) dan keberlanjutannya (sustainabilitas).
Pada posisi semacam ini maka, penyair menjadi pencipta yang membangun tubuh
puisi. Atau dalam bahasa Affandi, penyair (seniman) melakukan peniruan-peniruan
dari alam sekitar untuk menjadi sesuatu yang baru. Karena sesungguhnya tidak
ada suatu penciptaan yang terlepas dari gesekan, interaksi, dan konjugasi dengan
faktor-faktor di lingkungannya.
Hubungan
puisi sebagai tubuh, dan penyair sebagai pencipta merupakan pertarungan untuk saling menaklukkan. Penyair
menaklukkan perisitiwa keseharian sebagai bahan baku kata untuk membangun tubuh
puisi. Sementara puisi menaklukkan penyair untuk mengubah sebuah subjektivitas
peristiwa menjadi objektivitas yang bersifat universal. Sebuah pertarungan yang
membutuhkan mentalitas, kemampuan intelektual, dan kontemplasi sehingga bahasa
yang terbuka menjadi tertutup dan memberikan peluang makna yang lebih variatif.
Kreativitas untuk menaklukkan peristiwa ke dalam puisi
merupakan pertarungan-pertarungan personal untuk memungut bahasa sebagai identitas
pengucapan yang segar dan mendebarkan.
Dalam
tubuh puisi, organ-organ saling berinteraksi menangkap persoalan-persoalan di
sekitar sebagai stimulan yang direspon dengan bahasa sebagai komunikasi kepada
di luar dirinya. Komunikasi yang berbeda dengan kabar berita yang menyampaikan
informasi secara langsung. Tubuh puisi, merupakan bahasa yang terbungkus
sehingga memberikan berbagai pintu untuk memasuki, memahami dan memberikan
respon kembali. Bahasa yang memberi kemungkinan untuk membuat tafsir dan menjadikan
puisi sebagai tubuh yang rela dijamah oleh setiap penikmatnya.
Di
sisi lain, tubuh puisi merupakan sebuah cermin perkembangan peradaban saat penyair
melahirkannya. Tubuh yang dipenuhi aksesori bahasa dan peristiwa. Bahasa yang
hadir ditengah hiruk-pikuk komunikasi dengan berbagai perangkatnya, serta
peristiwa yang menjadi pembangun tubuh yang tumbuh. Pilihan diksi sebagai kode
genetik pembangun tubuh, tentu berhubungan dengan bahasa atau peristiwa keseharian
yang hadir atau ditemui penyair. Bahasa, entah sebagai pilihan yang telah
dimiliki orang lain atau pilihan yang kemudian menjadi milik (identitas) personal.
Atau
secara genetis tubuh puisi sebagai eskpresi dari materi genetik. Suatu sifat
unik yang hadir karena adanya rekombinasi genetik antara pengalaman eksternal
yang berangkai dengan pengalaman internal atau batiniah. Jika sama dengan ekspresi
yang telah ada tak lain merupakan sebuah pewarisan genetik yang berlangsung
tanpa adanya rekombinasi. Ini terjadi pada peristiwa pembelahan secara
vegetatif, atau pada peristiwa cangkok atau kloning terhadap kode genetik.
Kemungkinan-kemungkinan yang berkelindan di antara dunia kreatif. Bahwa genetika
dalam tubuh puisi tidak tunggal tetapi varian-varian itu muncul dari hasil
silang atau hibrid yang terjadi baik secara alamiah mau pun dengan rekayasa,
yang didasarkan pada perkembangan sains.
Membaca
puisi-puisi yang terangkum dalam antologi “ Bait-bait Rindu Bukit Burâs”
kumpulan puisi dari Avan Fathurrahman, M. Ridwan, Moldy Auzora, Sufyan Abi Zet,
Yayan Koeneink, Zam’sta seperti melihat sebuah eksprei genetik yang berbeda di
antara mereka. Genetika sebagai bahan internal yang mempengaruhi terhadap
puisi. Telaah ini tak lain merupakan salah satu cara saya memasuki tubuh dan
ekspresi puisi dengan melihat faktor genetik yang membangun dan mengekspresikan
tubuh puisi. Tubuh yang mengingatkan terhadap puisi sebagai ciptaan,
dikendalikan oleh faktor genetik yang mempengaruhi ekspresi puisi.Penyair sebagai
“pencipta” mengendalikan spesies atau tubuh ciptaannya berhubungan dengan gen
yang terpaut di dalam tubuh, serta interaksinya dengan faktor eksternal
(lingkungan). Salah satu cara saya merayakan puisi dengan tinjauan biologis
yang tak lazim. Saya mengumpamakan puisi sebagai tubuh, spesies yang dilahirkan
ke tengah belantara sastra dan mencoba hidup, berkompetisi serta melanjutkan
kehidupannya.
Puisi-puisi
Avan Fathurrahman merupakan sebentuk puisi yang mengekspresikan tentang rindu, hening
kenangan, dan luka di antara keputus-asaan. Kepedihan lirih namun tak sampai
merintih. Ia begitu sabar membiakkan cinta dari pengalaman empiris yang mempengaruhi
pada pengucapan puisinya. Tubuh puisi sebagai hasil interaksi antara faktor
internal yang dipengaruhi oleh lingkungan. Ia begitu rindu dengan akar tradisi
yang terus tumbuh. Suatu pertumbuhan peradaban ke bentuk yang paling kondusif. Mantenan, kleningan, sinden, kodon (kode genetik) yang menandakan
tradisi lokal terus menerus mengalami penyusutan. Bila resepsi pernikahan lebih
sering dihadirkan orkes dangdut, dan semacamnya. Tradisi yang kian menua
seumpama langit senja yang akan segera tenggelam. Gundah yang dikodekan dengan
kehadiran sepasang gagak dengan suara serak. Kodon gagak mengkodekan kematian. Bagi
masyarakat Madura, erangan suara gagak lebih dekat kepada kabar buruk, kabar
kematian. Menikmati puisi-puisi Avan Fathurrahman, seperti menikmati suasana
melankolis dan romantis, meski kadang terasa nyeri dan pedih sebagaimana dapat
dinikmati pada puisi berikut:
LANGIT
MERAH SAGA
Ini adalah bagian dari harap yang rumpang/
Tanggal pernikahan, daftar undangan, sinden dan klenengan/ Menjadi menu
percakapan kita/ Dulu// Tak ada yang bisa memisahkan janji kita bukan?// Sepasang gagak hitam membelah langit merah
saga/ Suaranya Serak.// Membawa kabar luka dari seberang./ Air mata meruah
mengiring senja./ Lelehannya merobek hati// Kau,/ Seperti Roro Jonggrang yang
hilang ditelan malam// Aku,/ Menggenapkan bisu dalam kebingungan yang legam// Aku
bukan Qois yang harus mendekap pedih melepas Layla/ Aku bukan Yusuf yang
sanggup menanggung/ perihnya perasaan antara cinta dan dosa./ Aku selalu tak
cukup punya waktu,/ menyembuhkan luka-luka.// (halaman, 5)
Kerinduan
Avan karena kehilangan tersebut tidak untuk disesali, tetapi dijadikan sandaran
sambil menunggu perubahan. Kelak, ada ruang yang merangkul kerinduan. Ruang
yang merealisasikan rindu sebagai realitas yang nyata sebagai mana pada puisi
berikut:
PADA
RINDUMU AKU REBAH
Rumput-rumput, yang tumbuh dan merambat/ Abadi
dalam ingatan/ Di sepanjangan tanjakan bhuras Cinta melesat. Deras/Menuju
segala mungkin, tentang kita// Ada jarak yang menjeda/ Dari rindu dan cinta/ Ada
harap yang merekat/ Pada ingatan yang tetap lekat// Kelak,/ Saat ruang merangkum jarak/ Aku ingin
rebah pada rindumu/ Menikmati teduh mata dan pualam pipimu.// (halaman 4)
Sementara
M. Ridwan dengan lantang kembali mengais benda-benda dan kearifan lokal yang kini
tenggelam hiruk pikuk perubahan. Ketika sejarah lokal dikalahkan oleh kegaduhan
sosial media yang setiap hari menaburkan kisah baru, pahlawan baru, dan
kecemasan baru. Genetika lokalitas yang berserak dengan persoalan kekinian disusun
kembali menjadi tubuh untuk menemukan ekspresinya yang paling aktual dan
adaptif. M. Ridwan dalam beberapa puisinya memiliki intensitas terhadap
kearifan budaya lokal. Perhatian yang kerap membuatnya kecewa, karena lokalitas
itu kian menjauh. Gen lokalitas kian teralineasi oleh sebaran budaya kekinian
lewat media sosial, sehingga sesekali dengan lantang meneriakkannya. Ada kesal
tapi tak mampu dibendung saat sisa kekayaan tradisi didokumentasi oleh orang
luar (helen bovier), seakan menegaskan budaya lokal kian menjauh dan melenyap.
Kegundahan yang dapat dirasakan dalam potongan larik berikut.
... #helenabouvier
sampai datang perempuan penyuluh kata,
perekam gerak, pencatat bunyi rancak, penikmat detak musik dari gugusan
tanah-tanah tandus dan jalanan berbatu padahal ia menyimpan jarak panjang,
terbentang dari prancis - madura -
indonesiabendentang, sambil sesekali memutar lagu-lagu lebur yang kini masyhur
di negeri orang diam-diam hilang dari jarak pandang di negeri sendiri (Hikayat
Siding Margo, halaman11-12)
Rasa
gundah mengenai keberadaan tradisi budaya lokal mewarnai sebagian besar
puisi-puisi M. Ridwan. Sebuah upaya untuk memperpanjang nafas dan ingatan
terhadap budaya lokal. Kegelisahan ini akan terus mengalir dalam alir genetik
perpuisian hingga kelak menemukan bentuknya yang paling adaptif. Serta tidak
tertutup kemungkinan apa yang digundahkan telah berganti dalam bentuk yang
lain.
Puisi-puisi
M. Ridwan sangat menarik terutama puisi-puisi yang menggunakan genetika
lokalitas dan dirangkai membentuk kode makna yang meneriakkan kehilangan,
pudarnya tradisi di tengah masyarakatnya. Teriakan-teriakan menggugat budaya
tani yang kian tergerus seiring perkembangan pariwisata sebagai ranah
pengembangan ekonomi kreatif.
Hikayat
Sampan Kecil, Aroma Laut, Aroma Perempuanku, Riwayat Sunyi, Segumpal Hati
Sebilah Belati, merupakan puisi-puisi M. Ridwan yang berkisah pedih, sunyi, dan
rindu. Kepedihan terhadap terancamnya budaya tani dan kuliner. Kepedihan yang
dikodekan dengan kehadiran alat pertanian dan alat dapur. Barisan kode genetik
yang mengekspresikan kegundahan terhadap keberadaan dua budaya tersebut yang
terus terdesak oleh teknologi dan produk instan. Menikmati puisi-puisi M.
Ridwan peri hal perempuan tak semenarik kode-kode yang dibangun dalam puisi
protesnya terhadap guncangan budaya tani dan kuliner.
Mody
Auzora, Ia menyemai kembali genetika lokalitas sebagai simbol dan memberikannya
makna yang lain. Ada semacam upaya untuk menyilangkan genetika lokal dengan
persoalan-persoalan kekinian. Hibrida yang mencoba menemukan bentuk paling
adaptif. Upaya hibrida yang banyak dilakukan penyair untuk menemukan hal-hal
baru dari yang sudah ada.Ada sebuah upaya dari Moldy Auzora untuk mengenang
tempat, kerafian lokal yang mulai terkontaminasi. Kearifan lokal yang bersimbiosis
atau pun yang terinfeksi oleh gen budaya asing. Kenangandan kegelisahan Moldy
dapat dirasakan pada puisi berikut:
SUMBER
TOMBET
Dulu, kami lewati senja bersama airmu/ Deras
mengalir ke taman kalbu/ Bermain petak umpet dengan lugu/ Tak pernah khawatir
akan peta masa depanku// Jingga yang tenggelam ditelan oleh malam/ Berkhias
kunang-kunang yang temaram/ Menjadi saksi bisu kisah yang tersulam/ Bahwa hanya
malam yang kelam/ Tapi tidak dengan keindahan bunga-bunga jiwa yang senantiasa
tersiram// Kini, air cintamu mulai surut/ Membuat banyak hati merasa takut/
Bahkan tak jarang harus ribut-ribut/ Demi hijaunya rumput-rumput// (halaman 25)
Sumenep, 7 juli 2018
Sufyan
Abi Zet, dengan puisi pagarnya mengingatkan pada teks kitab-kitab pengetahuan
islam klasik dan belakangan dihadirkan kembali oleh Sofyan Rh Zaid. Ia
berbicara tentang sunyi, tradisi, dan solawat. Inilah warna genetika syair dalam
beberapa kitab klasik di pesantren yang mempertimbangkan irama dan suara
musikal pada akhir baris, juga penggunaan pagar yang membatasi dua sisi pada
setiap baris. Genetika yang tidak banyak berubah kecuali pada penggunaan bahasa
Indonesia. Hal ini lebih menarik apabila Sufyan Abi Zet lebih jauh melakukan
eksplorasikepada esensi sastra islam klasik bukan kepada bentuk fisik. Secara
genetik, upaya-upaya membangun perumpamaan-perumpamaan mengorangkan (personifikasi)
tetumbuhan menjadi pijakan untuk mengembangkan genetika puisinya, pada puisi berikut;
SELAWAT ILALANG, 2
akulah ilalang # di tanah gersang
di celah bebatuan # dibesarkan getir peradaban
aku tak menyerah # walau hujan bersimbah
panas mendidihkan darah # : padaNya aku merebah.
Batuputih, 2018
(Halaman 35)
Yayan
Koeneink, satu-satunya perempuan dalam antologi ini dan menyampaikan persoalan lokalitas
atau suasana rural. Ada dua puisi karya Yayan dalam buku ini, dan keduanya
berkisah tentang suasana perdesaan. Sebuah realitas yang dihadapi Yayan, dan
diangkatnya ke dalam tubuh puisi. Genetika puisinya tidak begitu rumit untuk
memahami kodon / kode yang disimbolkannya. Sawah, ladang, ranting, jalan
setapak, dan layang-layang yang dimaksud tak berbeda jauh dengan makna
tekstualnya.
KEMARAU
BULAN JULI
Senja
itu Adik berlari menyusuri jalan setapak/ Menerobos sawah-sawah kering/ Penuh
ranting dan rumput berduri/ Sesekali ia mendongak ke langit/ Memburu
layang-layang/ Di deras arus mata angin/ Adikku terlihat girang Ia kembali
sebagai pemenang/ Di antara segerombolan bocah/ Yang bernasib sama.(halaman 44)
Zam’sta,
melakukan upaya memaknai dan melakukan aktualitas terhadap tradisi dan
unsur-unsur lokalitas yang pedih. Zam’sta, melihat ritus bukan sekadar ritual
namun memiliki makna akan harapan-harapan filosofis. Nilai-nilai kearifan yang dirasakan
mulai pudar. Hanya cinta membuatnya merangkai kembali kepingan-kepingan budaya
lokal tersebut untuk menemukan maknanya kembali. Zam’asta memilih serakan genetika
lokal yang terabaikan sebagai kode yang membangun tubuh puisi. Kepingan
peradaban yang berhadapan dengan perubahan-perubahan yang mengepungnya.
Tetapi, sambil menelan pedih luka lama/ Aku
himpun kembali hati yang retak/ Perasaan yang terserak/ Menjadi lempengan-lempengan aksara dalam cinta.//
(Sabda Menara, halaman 47)
Zam’sta
begitu yakin bahwa di tempat buminya berpijak, budaya bisa tumbuh dengan baik,
meresapi sari pati tanah hidup untuk
tumbuh dan berkembang, sekaligus menjalani siklus hidup yang mengalir dan
berputar. Dari awal ke akhir dan kembali ke awal. Sebuah perjalanan mendaki yang
mengajarinya untuk tabah dan kuat. Menuruni keangkuhan menuju lembah kesabaran.
Ke gunung mencapai puncak keangkuhan dan jati diri namun perlu meneruskan turun
ke laut untuk belajar menerima segala yang tumpah dalam gelombang cinta yang
sedap. Simaklah ritus toron tana sebagai
sebuah ikhtiar untuk berharap mengenai masa depan yang tak teraba dengan pilihan-pilihan
baik yang disodorkan
Berpijaklah di bumi dan tumbuhlah/ Perjalanan
kita adalah perjalanan hujan ke gunung/ Ke sungai, lalu ke laut /:Tempat segalanya
kembali/ Mengakhiri perih (Toron Tana 1, halaman 48-49.
Dalam
beberapa puisinya Zam’sta menghadirkan kode-kode budaya lokal, nama tempat,
sapi, tradisi toron tana. Kode-kode budaya, baginya memiliki nilai-nilai luhur,
namun kondisi kini nilai-nilai kearifan itu kian pudar. Zam’sta merasa perlu
untuk menghadirkan kembali kode-kode lokalitas menjadi dan mencari serta menemukan
makna aktualitasnya.
Pembacaan
saya terhadap “ Bait-bait Rindu Bukit Burâs” tidak akan pernah tuntas, namun
dari beberapa spesies puisi yang terkumpul dalam buku ini, terlihat
taburan genetika puisi yang mengkodekan
kehilangan, rindu dan harapan. Kode yang bertabur ditengah ringkihnya budaya
lokal menghadapi serbuan media sosial yang akseleratif, masif, dan kehilangan
kesabaran untuk bisa saling memahami. Buku yang secara simbolis menandai
pergeseran atau terjadinya dinamika peradaban Madura yang tak lagi eksotis tepi
tengah gemuruh menemukan bentuk yang paling adaptif.
Dari
kode-kode genetika yang memenuhi tubuh puisi pada buku puisi “Bait-bait Rindu
Bukit Burâs” menandakan upaya dari para penyair untuk memaknai kembali budaya
lokal sebagai kode yang dipergunakannya dalam membangun tubuh puisi. Sebuah
upaya mendokumentasi terhadap kearifan lokal yang kian tersisih, dengan berbagai
variasi estetika yang menarik.
Sumenep,
21 Agustus 2018
Hidayat
Raharja, guru biologi penyuka puisi.