Oleh: Hidayat Raharja*
Setahun terakhir ini ada dua buku novel yang tak jemu aku baca berulangkali. Dua buku yang banyak mengoncang emosi, memberikan inspirasi dalam pekerjaanku. Dua buku itu antara lain: “Totto-chan Gadis Cilik di Jendela” karya Tetsuko Kuroyanagi terbitan PT. Gramedia Pustaka Utama - Jakarta, dan “Laskar Pelangi” karya Andrea Hirata terbitan PT Bentang Pustaka – Jogjakarta.
Dua buku ini sangat menarik untuk dijadikan bacaan wajib bagi para guru yang melakoni profesi sebagai pendidik, karena dua buku ini berkisah tentang dunia pendidikan yang terbuka, inovatif, kreatif, dan demokratis. Sebuah penceritaan yang mengisahkan pengalaman belajar siswa yang membuatnya berhasil dalam kehidupannya. Sukses dalam hidup karena peran guru yang sangat arif dan bijak dalam menangani tingkah-polah siswanya yang beragam. Ceritanya mengisahkan lembaga sekolah bukan hanya lembaga yang mencetak anak seperti yang diinginkan guru, tetapi mampu berperan sebagai “minisocity” sehingga siswa bisa mengembangkan diri, belajar bermasyarakat sebelum terjun ke masyarakat yang sesungguhnya.
Sekolah sebagai lembaga yang memfasilitasi dan mengembangkan potensi anak sesuai dengan bakat dan kemampuannya, dapat dinikmati dalam kedua buku ini, yang dipersembahkan pengarang untuk guru tercintanya. Sebuah cerita yang mengungkapkan memori mereka dalam mengeyam pendidikan di sekolah, dan bagaimana guru memperlakukan dirinya sehingga bisa sukses dalam menempuh kehidupan.
****
“Totto-chan Gadis Cilik di Jendela” di antaranya digambarkan betapa sedihnya mama Totto-chan ketika anaknya dikeluarkan dari sekolah karena dianggap nakal, tidak bisa diam, dan selalu mengundang kegaduhan. Tetsuku Kuroyanagi (nama asli Totto-chan ) menceritakan pengalamannya dikeluarkan dari suatu sekolah, karena guru kelasnya menganggap Totto-chan sulit diatur. Pada hal Totto-chan memiliki rasa ingin tahu yang luar biasa. Betapa emosionalnya wali kelas menceritakan kenakalan Totto-chan kepada mamanya. “ Kalau dia tidak membuat kegaduhan dengan mejanya, dia berdiri. Selama pelajaran!” Bahkan Totto-chan berdiri di depan jendela menunggu rombongan pengamen lewat untuk memainkan musik dan memanggil teman-temannya untuk menonton, sehingga suasana kelas menjadi gaduh, bahkan sanpai mengganggu ke kelas di sebelahnya. Guru Totto-chan tidak mampu lagi menanganinya, sehingga dikembalikan lagi kepada mamanya.
Memiliki anak yang dianggap nakal dan bermasalah merupakan beban berat orangtua. Begitu pun mama Totto-chan. Akhirnya menemukan sekolah baru di Tomoe Gakuen. Sekolah yang sangat menarik, karena kelasnya mempergunakan gerbongh kereta api bekas. Wajah mama dan Totto-chan berubah menjadi gembira, ketika bisa diterima di Tomoe Gakuen. Saat menemui kepala sekolah untuk mendaftarkan diri, Totto-chan disuruh menceritakan pengalamannya. Sosaku Kobayashi – kepala sekolah di Tomoe Gakuen dengan sabar dan ceria mendengarkan cerita Totto-chan selama hampir empat jam. “kau diterima di sekolah ini!” saat Totto-chan mengakhiri ceritanya. Betapa senang dan gembiranya Totto-chan diterima di sekolah yang ruang kelasnya berupa gerbong kereta.
Hari-hari di sekolah Tomoe Gakuen sangat menyenangkan. Mr.Kobayashi sebagai kepala sekolah dengan sabar dan telaten memantau perkembangan anak sesuai dengan bakat dan potensinya, menemani berkemah di aula, makan siang bersama dan memasak bersama. Satu hal lagi di sekolah ini Totto-chan menemukan keasyikan belajar . Di Tomoe Gakuen, para murid juga boleh mengubah urutan pelajaran sesuai keinginan mereka. Ada yang memulai hari dengan belajar fisika, ada yang mendahulukan menggambar, ada yang ingin belajar bahas terlebih dahulu. Pilihan sesuka hati mereka. Karena keunikannya maka Totto-chan kerasan di Tomoe Gakuen.
Ternyata tanpa disadari di Tomoe Gakuen siswa bukan hanya belajar fisika, berhitung, musik, dan lain-lainnya. Ia juga mendapatkan banyak pelajaran berharga mengenai persahabatan, rasa hormat dan menghargai orang lain yang berbeda, menyayangi temannya yang menderita, mengunjungi temannya yang kesusahan serta kebebasan menjadi diri-sendiri.
***
“Laskar Pelangi” karya Andrea Hirata tidak jauh berbeda dari “Totto–chan Gadis Cilik di Jendela” tidak jauh berbeda. Namun “Laskar Pelangi” sangat menarik karena kisah yang dibangun Andrea berangkat dari pengalaman belajarnya di sebuah daerah tambang yang kaya, namun anak-anak kampung asli di Belitong yang miskin penuh semangat dan antusiasme untuk mnemperbaiki hidup dengan menempuh pendidikan formal. Ia bukan hanya menceritakan bagaimana anak-anak para buruh kopra, buruh tambang, dan anak-anak nelayan membangun mimpi untuk memperbaiki nasib hidupnya.
Bahkan heroisme mereka para Laskar Pelangi memperjuangkan harkat dan martabat sekolahnya sehingga mampu bersaing dengan sekolah PN milik Perusahaan Pertambangan Timah. Betapa menegangkan usaha mereka untuk bisa mengangkat martbat sekolah dalam sebuah karnaval di bulan Aagustus, dan di arena lomba cerdas-cermat untuk mengukur ketangkasan dan kepandaian dalam menjawab soal-soal yang dikompetisikan. Jerih payah para tokoh dalam Laskar Pelangi, tidak lepas dari peran Bu Mus (Muslimah Hafsari) sebagai guru kelas mereka di SD Muhammadiyah dan Pak Harfan Effendy Noor- Kepala Sekolah yang dengan penuh kearifan,sabar, terbuka, dan bersikap demokratis membimbing siswa-siswanya untuk maju dan menggapai cita-cita yang diimpikan.
Bu Mus, guru yang sabar, telaten, tabah, dan tekun hanya dengan penuh keikhlasan membimbing siswa-siswanya di kelas sebanyak 10 orang hanya dengan bayaran beras 15 kg setiap bulan, beliau dengan tulus nan ikhlas membimbing dan mengembangkan potensi murid-muridnya sesuai dengan bakatnya. Bel;iau guru memiliki pandangan jauh ke depan untuk keberhasilan siswa-siswanya. Beliau menyusun sendiri silabus pelajaran Budi Pekerti dan mengajarkan kepada murid-muridnya pandangan-pandangan dasar moral, demokrasi, hukum , keadilan, dan hak-hak asasi jauh sebelum orang-orang meributkan paham materialisme versus pembangunan spiritual dalam pendidikan.
Mahar yang baik kreatifitas seninya, Lintang yang jagoan matematika, Kucai tidak pintar tetapi pandai bersilat lidah, pintar melobi akhirnya sukses sebagai anggota parlemen. Si ikal anak buruh tambang yang pintar akhirnya bisa menempuh pendidikan sampai ke benua jauh. Mereka berhasil membuktikan bahwa anak-anak orang miskin bisa merealisasikan impiannya menjadi nyata.
***
Dua buku novel ini amat pantas kalau dijadikan bacaan wajib bagi para guru, karena kreatifitas dan inovasi yang dilakukan oleh tokoh dalam buku ini amat relevan dengan kondisi pendidikan Indonesia saat ini. Bagaimana mereka membangun kemungkinan-kemungkina terbaik pembelajaran dalam fasilitas yang terbatas. Tuntutan untuk melakukan pembelajaran kontekstual dan konstruktif diceritakan dengan keterbukaan Mr. Kobayashi (Sosaku Kobayashi) untuk mengundang petani sayur di sekitar sekolahnya untuk mengajarkan bertani bagi musrid-muridnya di Tomoe Gakuen. Membangun keakraban dengan murid-muridnya dan membangun kepercayaan diri bagi murid-muridnya untuk bisa sukses, merupakan resep utama yang ditanamkan Mr. Kobayashi, sehingga murid-muridnya merasa nyaman dan senang sekolah di Tomoe Gakuen.
Bu Mus (Muslimah Hafsari) merupakan guru yang tetap menemukan aktualitasnya dalam perkembangan pendidikan Indonesia saat ini. Beliau tidak hanya memandang pendidikan sekolah hanya sekedar transfer pengetahuan namun juga memiliki tanggungjawab untuk mengembangkan anak didik sesuai dengan bakat dan potensinya. Sejak dini anak-anak telah diperkenalkan pada budi baik untuk berbuat amar makruf nahi munkar. Beliau tidak mengajarkan budi pekerti sebagai teori belaka, namun dengan perilaku yang dijadikan tauladan bagi anak didiknya. Menyikapi perbedaan pendapat dengan dan antar muridnya dengan penuh kearifan. Pak Harfan Effendy Noor sebagai kepala sekolah selalu merealisasikan keinginan siswanya dalam keterbatasan yang ada.
Kedua buku ini merupakan sindiran bagi dunia pendidikan kita saat ini untuk bisa mendidik anak yang bukan hanya pintar tetapi juga berbudi dan berakhlak, serta beradab dan mampu menghargai dan menghormati gurunya. Penghormatan terhadap guru yang ditunjukkan oleh Tetsuko Kuroyanagi dan Andrea Hirata dengan mempersembahkan karya besar ini untuk guru-guru yang dicintainya.
Penulis adalah esais, guru di SMA 1 Sumenep
Selasa, April 22, 2008
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar