; bersama mardiluhung
Inilah yang paling pesisir dari kau
saat gerak tangan,mata dan mulutmu
mengalahkan hujan yang merajam siang itu
sawah-sawah mulai tergenang
bau air menyengat siang
tapi hujan di dadamu kian deras merajamkan kenakalan dan
ketegangan kelamin tak tersalur
adakalanya ketegangan di balik kepalamu
butuh kau benturkan ke balik mesum yang tersembunyi
lupakan sejenak kau
berhujan-hujanlah dengan lelehan air membentuk molek
perempuan sesekali merayap kayalmu atau mendekap dan merangkul igaumu
air kian deras menghujani tubuhmu membasahi kisahmu
kelopak matamu mulai berduri menatap istri yoga
bukan mawar, tapi bunga jantan
sulur-sulurnya membelit rawa
akar-akarnya menembus belukar; poligami!
diam-diam dan sembunyi
kau intip tubuhnya di belakang kesetiaan istri
yang menanam doa di antara tekanan tekanan
yang kadang menyesakkan
kau buka dadanya dan kau remas segumpal daging
kau santap sesaji penutup makan siang
kau buka tengkoraknya dan kau baca kenangan mesum
yang terperangkap di otak besar
kau berkelana pada tiap ruas persendian
ke pangkal kelamin kau intip saluran-saluran
penyedot dan pembuangan, pemanas dan pendingin
pembuka dan penutup
saluran tempat kau masuk dan kau keluar
meminum dan diminum. Tempat kau diintip dan ditelan
:”kau dengar ratapan bulu-bulu memanggilmu
di atas tengkuk dan nafasmu!”
jalan-jalan yang kuning
di antara rumah-rumah tak bertanda
dan jalan-jalan tak bernama, setapak
setapak dan makadam, aspalan. Jalan-jalan ke ujung
liku-liku ke gunung
gunung-gunung mulai meninggi bumimu
kawah-kawah mulai memanas dalam dirimu
gresik jejakmu, di atas kerumunan udara tuba dan langit abu
pantai-pantai hitam dan para kelasi
yang nakal singgah pula di hotelmu
dengan jendela kata begitu luasnya
di kamar perempuan menunggu
dengan gaun hijau belahan dada terbuka setinggi paha
meringkuk di dipan yang remang. Kau atur pertemuan
mereka, di remang bulan aroma pindang dan cakalang yang mendidih
kucing belang menyantap hingga tulang
kau mengintip hingga erang
gumam pelabuhan
bintang-bintang muram di kejauhan
barisan cahaya dari tiang-tiang kapal terengah-engah
menahan beban perjalanan
sejengkal lagi ke pantai
perempuan-perempuan berjaga menunggu para kelasi
yang tengah menambatkan sauh
gemetar ombak pecah membasahi tangga
dan satu dua tiga bahkan lebih lagi menepi
dan perempuan-perempuan bergelak memegang kepala jangkar
ditenggelamkannya ke ceruk yang becek, aroma kembang dan alkohol
antara hirukpikuk dan sunyi
sapa membaca alunan kitab suci
di meja 33 botol tuak dan 99 gelas kristal berkilauan
disambar lampu kamar
2006
Selasa, April 22, 2008
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar