oleh: Hidayat Raharja
Ia rumah bagi kau, tapi bukan aku.
Sebab aku ada di antara riak memukul pantai.
Malam adalah jebakan saat lampu-lampu berpantulan di atas
permukaan.
Aku menari girang tak berasa memasuki perangkap yang
merayap
Purnama adalah waktu yang ditunggu.
Menunggu ibu bulan tersenyum bersama pasang laut.
Ah, kau menarik-narik jaring
tubuh-tubuhku yang tergiring
Begitu beda kau dan aku.
Kau senang aku terjala.
Aku sedih kau gembira.
Jangan pernah kau sebut berhasil.
Sebab kau licik-menipu aku dengan cahaya.
Sinar yang aku sangka binar bahagia.
Cahaya jatuh di antara gelap tertidur di
ujung ombak.
Sisik-sisik laut berpantulan memanggil beribu-ribu nasib.
Nasib
baik dan kutuk beriak-riak di antara buih-buih amis.
Memercik tubuh dingin menahan angin.
Angin biru atau angin merah, singgah di selaput kulitmu yang coklat.
Di lipatan-lipatan waktu yang mengkerut di sudut .
Bagan itu mengibarkan bendera; kemenangan .
Namun jauh di balik tutup kepala, aku telan gelembung garam
tersekat di antara rigi-rigi insang yang perih.
Aku ikan seperti ya’,
meliuk-liuk di antara deras arus.
Aku jadi ‘ain
menghadang ombak masuk dalam mulut.
Mulut yang kilau hijaiyah malam.
Gelap menyulut cahaya, meliuk-liuk di antara
redup dan kantuk yang mengangguk.
Aku
namakan kau Talang.
Talang siring, katamu.
Tikungan tajam berbatas bibir pantai yang aus. Di antara
urukan tanah gunung
memunggung tanah baru. Bakau-bakau terisak tersedak debu
dan batu
Berjatuhan dari mata nanarmu.
Ah cintaku,
sepi setangkai sentigi di atas batu.
Sedih merah di antara sore rebah.
Di antara isak anak gadis,
ditinggal pacar dengan lain kekasih
yang manis.
Aku kerang yang menyimpan isak lirih pasir waktu,
timbul dan tenggelam kebalik cangkang.
Bersiasat dengan muslihat jahat yag berjatuhan dari lubang
matamu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar