Betapa gebrak cinta melantakkan pertahananku saat lidah rindu menjilat-jilat ke dalaman ibu. Senyummu yang menggantung di pelupuk, potretmu yang terpajang di ruang tamu akan selalu menyedot keinginaku untuk pulang menemuimu. Bisikanmu selalu sampai saat sunyi atau pun bising. Aku tidak tahu apakah salam-salamku sampai seusai lima waktu, tetapi aku selalu berkirim salam untuk cinta tulusku kepada mu. Sesakali aku bayangkan kau marah saat aku lalai menyakiti keinginanmu, dan aku menyimpang dari jalan yang pernah kau pinta. Bagai badai aku terus mengirimkan rindu ke kedalaman kediamanmu dan ke ketinggian istirahmu. Aku lah kapal yang terus berlayar mendaki dan menyusuri liku dan terkaman laut yang menghadang; Ibu.
(2)
Jangan mainkan pedang tetapi berbuatlah kebajikan. Selalu kau katakan di ruang tamu, saat kita bercakap semenjak sepeninggal ibu. Aku selalu mengalah karena aku tak ingin melukai puisimu yang indah dengan bangun kata yang tak sudah-sudah sehingga aku kesulitan untuk membikinnya jadi madah. Betapa banyak ludah kutelan untuk menelan rindu yang tak tertahan, tetapi aku selalu mengapuisinya dengan harapan yang bermunculan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar