Yang kuning bundar
adalah cintaku dikelilingi kesucian seorang perempuan yang belum pernah
melahirkan. Aku rangkum dunia ibu dalam sejarah panjang yang bergulir dari
ladang ke dagingku. Sepercik garam yang menyedapkan pandang dan hidup lapang
mengusung kisah para petambak di musim yang tak bisa ditebak. Nasib selalu
berputar seperti lingkar matamu yang coklat semu.
Tak ada yang lebih
indah dari pada perjumpaan saat kita menuai janji di meja yang penuhi bunga
wangi. Aku pilih piring dengan motif kembang belang, merah dan hitam. Merah
bahagia dan ketabahan cinta yang selalu menggoda. Pada setiap suap nasi yang
kita teguk aku telan butiran-butiran cahaya yang bersinar dari ladang hatimu
yang subur. Cahaya yang menguatkan pepohonan merajamkan akar dan cecabang ke
segala ruang. Hingga bunga-bunga bermekaran memenuhi ruang tunggu tempat kau
dan aku menyusu waktu.
Tak ada yang lebih
rindu dari rasa lapar yang terus menderu untuk mengisi kepal demi kepal
bongkahan cinta yang berguguran dari tebing matamu. Mata yang tumpah di atas
meja perjumpaan dan selalu memandang janji kita untuk selalu setia. Sesetia api
pada panas yang selalu menguraikan cair pada pekat. Sepekat cinta kita
sepakati.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar