(1)
Secantik gelap mengusap kelam langit yang tenggelam di wajahmu. Aku masih ingat saat bintang jatuh di keningmu saat-saat suara parau malam menjadi burung hantu. Aku dapat merasakan sunyi menggedor-gedor pintu di matamu. Angin merambat dingin dari gelombang hujan menggumpalkan air matamu di jam-jam rindu. Benih-benih padi, petak tanah gelap. Bangunan-bangunan sesal dan rindu berjejal di lahan-lahan hati yang kian mengeras. Pohon hanya tinggal batang berayun menunggu waktu usai di atas tanah tua.
Nyanyi kodok di seberang jalan memukul selaput telingamu, membisikkan lelaki yang tak bisa memejamkan mata. Saat -saat malam mengirim nama dan alamat dari dasar kolam dadamu. Nyanyi dingin bukan puisi, juga bukan pedih lentik kuku yang melengkung. Sebagai rindu yang berbelok ke dalam matamu. Disitu perempuan-perempuan menembang dengan iringan orkestra pohon nangka dan sebait pematang ditumbuhi tiang-tiang listrik, juga dangau dan kibaran bendera plastik dan suara kaleng menakut-nakuti burung pemakan biji.
Serombongan burung menabrak mataku, malam berbayang oleh bising burung-burung kecil yang bermigrasi di antara rimbun kabel dedaun malam yang pekat. Ah dingin mengalir dari pori dan halaman sunyi sesekali dilewati suara sandal dan sepatu. Sepotong puisi gemetar di kamar belakang, merekam suara televisi yang kedinginan dipeluk bintang sinetron yang tengah membual.
(2)
Sisa gerimis masih melekat di teras rumah. Sepi basah oleh biskmu. Ruang tamu dipenuhi khotbah televisi. Ada nyanyian mengalun dari langit-langit rumah. Tikus terjebak di antara rasa lapar dan rakus. Suara air gemericik dari kamar mandi, bau tubuhmu mulai memudar. Melunturkan warna mata memandangmu. Semuanya harus berubah seperti seusai mandi, berdandan dan memakai parfum namun akan ditelan pula oleh gerak waktu merajamkan detak dan detik hingga mekar bunga berguguran di pori wajahmu.
Dingin menipu pada tubuh yang basah. Udara congkak, menikamkan pisaunya hingga ngilu di tulang. Ah luka puisi, duka tubuh malam ditinggal sendirian. Aku tuliskan puisi cinta buatmu, laila. Tetapi kau telah tidur dikeloni malam yang berduri. Hanya dengkurmu membangunkan babi jantan yang meringkik di kandang gelap. Musim kawin kucing-kucing di atas genting, lengking suaranya memanggil pejantan yang lama kehilangan gairah. Subuh rebah di bawah geliat sepasang kekasih; bulan tenggelam dan matahari mengintai, membasahi rambut pagi setelah malam bergumul lumpur gelap yang pekat. Di dahan aroma lendir semerbak berguliran dari sudut daun meridang senyummu.
Selasa, Desember 23, 2008
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar