Andrea, empat buku yang kau tulis, menuliskan tahun-tahun kami yang hilang di tahun-tahun silam. kami menyusuri kenangan di kelas gedung SD inpres, separuh gedek dengan alas tanah.
Sekolah di bawah bukit dengan batu-batu buncit di halaman. Kami kekurangan guru. Namun bapak-ibu guru begitu tulus menularkan ilmu, seperti virulensi yang kemudian mengutukku jadi pecinta. Tak banyak buku-buku tetapi dari lidah itu menyembur aneka ilmu sedikit tapi mendalam. Tak banyak tetapi paham menjalankan hidup penuh ikhlas.
Jalan-jalan setapak, dan di jalan motor belum banyak, televisi hanya ada di rumah kalebun dan pak camat. Suara radio tiada henti menyemburkan informasi dari berbagai negeri, sehingga kami bisa membangun imajinasi. Lagu bang haji oma irama terus-menerus menggetar selaput telinga, kami kenal dangdut namanya.
Bila pagi tiba, tak kami pikir seragam sekolah tetapi menanti bapak ibu guru menceritakan pelajaran yang pertama atau boleh memilih apa yang kami suka. Kami terbiasa tak bersepatu dan seragam sehingga pikiran kami jadi beragam. Cita-cita kami juga macam-macam. Ismail yang haji tak sampai tamat SD negeri, tetapi sekarang jadi juragan besi tua, punya pabrik accu imitasi, dan punya dua istri. Hasan yang sekolah di kota terdekat saja sudah menjadi pejabat penting di kejaksanaan negeri. Sapari yang dikeluarkan karena malas kesekolah telah lama jadi pedagang besi tua dan kaya. Hanya Nanto yang takkutahu kabarnya, pada hal dulu paling banyak fasilitasnya, namun tak ada kabarnya selepas SMA.
Saat kami dewasa merasakan bedanya hidup susah di jaman lalu, tak semanja anak-anak sekolah saat ini. Tapi kami lebih mandiri dan siap menghadapi perubahan situasi yang tak mudah diprediksi. Kami tak pernah memilih takdir, tetapi kami mebangun mimpi berkali-kali sambil mengirim doa tida henti, juga bagi anak-anak kami yang akan melanjutkan kisah setelah kini.
2008
Rabu, Januari 14, 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar