Inilah perjalanan waktu,
tanah-tanah pertanian
jalanan melebar ke
tepian mataku.
Tubuh buruk dengan sisik
beretakan
bertabur sekujur badan. Penyakitan?
Bukan sayang, inilah
ketam waktu merajah
baik dan buruk di antara
musim hiruk.
Daging yang kasar, telah
aku sematkan rasa lapar
dan nista di antara
angin barat menisikkan jejarumnya
di antara batas sakit dan
harga diri. Serat-serat yang siap
mengakhiri kisah di atas
tungku bahagia yang tersalib.
Maka, aku ceritakan
kembali tentang biji hitam
yang terselip dalam sela
kunyahan
yang luput dari tafsir
kematian.
Biji yang menunaikan
janji hidup
kepada seluruh makhluk.
Serabut akar memeluk
butiran-butiran kerikil naas
hingga kuat manahan
badai dan hujan malam yang deras.
Akar kurus menyusu
sela-sela butiran tanah
mencari air dan seresah.
Akar menggeliat terpental
batu ganjal yang nakal.
Aku kirim mata air dan
bebutir makanan ke dedaun
yang merimbun di atasan.
Bunga-buga bermekaran
menebarkan dingin angin
malam
mempererat sedekapmu pada kekasih.
Bunga-bunga merah di
antara hehijau tunas
yang terus tumbuh di musim
unduh. Lalu,
mereka berayun menirukan
suara angin
berlayangan ke atas batu
meremukkan badan.
Di dalam sakit bijiku
kembali bangkit
menyusuri sela bebatu
gunung, mengeja hidup
tumbuh dari belahan
kepingan kecut waktu
dan manis harapan di
pasir takdir.
2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar