:geladak
Sungai berkelok
Denyarnya masih terasa
Berpuluh tahun lalu, bahkan lewat
Perahu menepi, tali tertambat.
Biru air berkaca-kaca
Rekam pejalan dan kendara
Lalulalang ke sekola, belanja dan tempat kerja.
Geladak belum tinggi, lantai rumah sejajar jalan raya.
Bibir sungai, masih hijau daun waru
:Pagi melintas.
Sepi berduri,
Suara kereta pelan merambat
Angkut penumpang ke kota terdekat.
Suaranya perlahan saja
seperti karat dilepas senja
Merontokan kenangan yang coklat dan renta
Riuh penarik becak
Mengangkut es balok
Dari gudang TKG dekat geladak
Ketipak kuda
Memutar roda pedati
jemput pulang bakul ikan dan sayuran
Magrib, toko-toko terkunci.
Tak ada jual beli pemiliknya masih ngaji
Sampai isyak menanti.
Bila kamis malam tak ada toko buka
Suara tartil, pujian, dan shalawat
Memenuhi langit berkat.
: barat
Masih sekitar jalan panglima sudirman
Dekat toko andalas yang kini lenyap,
Adzan di Kaptegghi merekati dinding ingatan.
Tak merdu suaranya
Namun selalu ingatkan waktu shalat tiba
Jalanan membujur ke ujung
Belok ke kanan lalu ke kiri
Toko mas terang, hing wan, dan toko kitab di sudut persimpangan.
Laris masih tetap menghadap selatan, kokoh berdiri dekat bangunan penjara
Sebelahnya lagi pos polisi, lalu truk melintas
Lemparkan kotak korek api kepada petugas.
Pasar srimangun, rel-rel mati ditumbuhi kios buah-buahan.
Toko damai yang muram kehilangan pelanggan.
Beralih ke supermaket, dan swalayan menjamur di mata memandang.
Sisa lahan tertutup beton dan aspalan
Rampas serapan hujan
Jika kemarau usai, warga siap menyongsong
Birahi sungai meluapi kota.
:timur
Belok ke selatan monumen kota,
Tak lagi patung laki berkuda dengan tombak digenggaman.
Tetapi julur menara, kubah mekar di ujungnya.
Di seberang, gedung smp 2 beralih jadi kantor bina marga.
Di dekatnya toko rejeki milik mieng lie, perempuan wajib lapor bulanan
ke aparat polisi, karena belum dapat status wni.
Tjip Soe kian merana,
Diapit swalayan bunga.
Di ketinggian geladak pasarpao sungai sibak punggung kota
Pagi, kabut, anak mengaji.
Saling sambut dengan cericit mamalia
Menggenggam sepi.
Air mulai keruh, simpan duka seluruh
Luka malam sembilan puluh tujuh.
Kota merah oleh amarah, peluru muntah oleh darah
:Tangisi nyawa terjarah.
Pecah kaca
Penuhi jalan raya.
Tarian asap dari gedung perkantoran
Dan gereja pantekosta di seberang utara.
Pasukan tentara
Berjagajaga
Senapan siaga
Periksa penumpang kendara dan pejalan
Masuk kota.
Kawatir bawa gaman dan senjata
Wajah dingin
Urat-uratnya berpilin
Berapa terkapar?
Siapa hilang?
Sungai,
Masih mengalir dari utara ke selatan kota
Wajahnya coklat lempung
Bayang-bayang mengapung
Samar-samar kambangan luka
Menampar wajah kita
2008
Selasa, Juni 03, 2008
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar